Elite Bagi Proyek, Pendukung Gigit Jari!


Tahapan pemilu 2024 sudah mulai, baik pileg maupun pilpres yang dilaksanakan pada 14 Februari 2024 nanti. Bahkan persiapan pilkada 27 November 2024 pun juga sudah dimulai. Ini pertanda dinamika politik bakal semakin hangat dan seru. Hal ini terlihat dari baligo yang sudah mulai tersebar di mana-mana, pertemuan relawan di banyak tempat dan konten di berbagai media massa dan media online termasuk di media sosial. Pokoknya situasinya sudah memanas. Bukan saja warga biasa tapi juga para elite yang sedang menjabat di berbagai lembaga penting. 

Sebagai sesama warga biasa kita perlu saling mengingatkan, agar kontestasi politik tidak menjadi bencana dan bumerang bagi kehidupan kita sebagai warga negara. Ingat, berpolitik itu boleh, asal jangan melampaui batas. Jalankan aksi politik sewajarnya saja. Namanya hak, ya tunaikan sepantasnya dan dengan segembira mungkin. Mendukung dan membela tokoh atau pasangan calon boleh saja, asal jangan caci maki, hina menghina dan merusak hubungan baik dengan sesama. Sederhananya, silaturahim dengan sesama tetap dijaga, apapun pilihan politiknya.  

Kita mesti belajar pada kontestasi politik sebelumnya, baik pileg dan pilpres maupun pilkada. Gontok-gontokan terjadi di mana-mana, baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Eh mereka yang berkontestasi malah menyatu dalam satu koalisi. Bukan saja di pileg dan pilpres tapi juga di pilkada. Pada saat pera elite bagi kue kekuasaan, para pendukung gigit jari dan nasibnya benar-benar apes. Saat elite sibuk berpesta pora dan bagi proyek, pemilih malah saling cakar, sibuk mencela dan tak saling sapa lagi. 

Kita mesti belajar dari yang sudah-sudah dan jangan pernah terjebak lagi. Jangan kalah sama keledai yang tak terperosok pada lubang yang sama untuk kedua kalinya. Biasanya yang menang bagi kue kekuasaan, yang kalah minta kue kekuasaan. Di sini sudah tak ada rasa malu. Sebab yang ada hanya satu kepentingan: bagi proyek. Semuanya dapat kue dan berpesta pora di atas penderitaan pendukungnya. Rakyat atau pemilih termasuk pendukung yang fanatik buta itu hanya jadi korban dan termarjinalkan secara politik, ekonomi dan sosial. 

Naifnya, pengalaman semacam itu sudah sering terjadi dan dialami tapi tak menyadarkan. Elite begitu pandai mendulang dukungan dengan beragam pola dan cara. Wewenang pun dijualbelikan demi mendapatkan dukungan. Tak sedikit yang menggunakan uang haram demi mendapatkan jabatan yang fantastis. Ujungnya, sibuk mencari cela korupsi lalu mendekam di penjara. Istri dan anak awalnya pesta pora, eh malah menangis bombai dan terpenjara pola hidup serba mewah namun penuh kepalsuan. 

Ya, begitu naifnya para pendukung yang dungu itu. Elite kerap membohongi mereka, namun mereka tak jera untuk dibohongi. Malah setiap momentum politik selalu menjadi barusan depan untuk memberi dukungan dan pembelaan. Kadang mendapatkan upah receh, namun pada umumnya hanya sibuk habiskan tenaga. Mereka tersanjung oleh elite yang kerap menebar janji, bahwa pendukung bekerja dengan ikhlas dan tanpa pamrih. Padahal itu hanya gurauan dan tipu muslihat. Dan, itu sudah terjadi berkali-kali.  

Pendukung dungu adalah sebutan paling tepat bagi mereka yang masih terjebak pada janji palsu atau janji manis elite yang ikut kontestasi politik lima tahunan itu. Siapapun pemenang kontestasi, rakyat tetap bekerja dan menjemput rezeki sendiri. Tak ada perubahan signifikan. Sebab pada saat menjabat, para elite itu sibuk membuat aturan agar gaji dan tunjangan mereka semakin besar angkanya. Pemilih tetap menjadi warga biasa dan hanya dimanfaatkan ketika proses pemilihan di TPS. 

Pada awalnya para elite itu bermuka manis dan aktif memproduksi diksi yang bikin hati pendukung aduhai. Seakan-akan tanpa elite itu kehidupan ini benar-benar tak berharga lagi. Mendukung pun dilakukan dengan segala rupa.  Dan yang paling norak adalah membela dukungannya secara membabi buta. Di sini tak ada rasionalitas, tak ada daya kritis. Saling sikat dan sikut antar sesama pendukung pun kerap terjadi. Termasuk dengan mereka yang berbeda dukungan. Ini benar-benar diperdaya oleh elite dungu. Heh, jadilah pendukung atau pemilih yang waras, bukan ikutan elite dungu itu! (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Ikhtiar Merawat Indonesia" 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Alasan Memilih Muhamad Salahudin Pada Pileg 2024

Mengenang Mama Tua, Ine Jebia

Jadilah Relawan Politik Tanpa Mahar!