Literasi Bersemi Di Syawal Fitri


"Selamat Hari Raya Idul Fitri 1444, Mohon Maaf Lahir dan Batin", adalah ungkap yang kini sedang menyeruak dan kerap kita dengar sekaligus sampaikan kepada keluarga, kolega dan tetangga hari-hari ini. Kita baru saja menjalankan ibadah shaum Ramadan, ada yang 29 hari dan ada yang 30 hari. Di tengah perbedaan itu, kita tetap dalam semangat yang sama: ikhlas beribadah, saling memaafkan, jaga persaudaraan dan menderma apa yang kita punya untuk sesama. 

Syawal memang momentum yang paling apik untuk menjaga hubungan baik antar sesama. Keharmonisan dengan siapapun yang berbeda biasanya sangat terasa bila dirajut pada momentum Syawal tiba. Ya, siapapun kita ini adalah momentum untuk memastikan kerenggangan berakhir secara apa adanya karena kelapangan hati untuk menerima kesalahan dan kekurangan sesama. Saling memaafkan hanyalah salah satu media untuk memastikan tujuan shaum Ramadan yaitu meraih taqwa, benar-benar mewujud dalam sikap dan laku hari-hari kita. 

Sebagai pemula dalam dunia literasi terutama dalam dunia kepenulisan, pada Ramadan lalu saya membuat target khusus yaitu menulis setiap hari. Di tengah kendala dan tantangan hebat terutama di tengah berbagai aktivitas lain yang cukup padat, saya selalu berupaya untuk menulis, minimal artikel pendek. Bila sebagiannya saya publikasi ke surat kabar dan media online, maka sebagiannya saya share atau publikasi ke Facebook dan blog pribadi saya. 

Selain itu, saya juga menuntaskan beberapa naskah buku yang pada beberapa bulan bahkan beberapa tahun sebelumnya sudah disusun namun butuh penyesuaian di sana-sini. Dari penyesuaian diksi hingga penyesuaian latar waktu juga tempat. Seingat saya ada 10 naskah yang saya tuntaskan pada Ramadan lalu. Bila yang benar-benar buku saya ada 6 naskah, maka 4 naskah merupakan karya para tokoh atau penulis lain yang berkolaborasi dengan saya, terutama dalam hal editing hingga cetak atau terbitan. 

Paling tidak ada dua hal yang membuat saya terus memaksa diri atau membuat target literasi pada setiap waktu termasuk Ramadan, pertama, karya tulis adalah medium paling gratis untuk mengungkap isi pikiran atau apa yang hendak saya tulis. Saya benar-benar diuntungkan oleh adanya teknologi informasi dan komunikasi, terutama dengan adanya aplikasi juga media sosial yang bisa saya gunakan untuk menyimpan tulisan apa pun yang saya karyakan. Dengan demikian, saya pun memaksa diri untuk mengisi media semacam itu dengan menulis setiap hari. 

Kedua, saya sangat sadar betapa ajal kematian setiap diri tak ada yang tahu kapan tibanya. Saya tentu termasuk di dalamnya, saya tak tahu kapan ajal kematian menimpa saya. Dalam kondisi demikian, saya ingin agar setiap detik yang saya lalui benar-benar terisi dengan hal-hak yang bermanfaat, termasuk menulis. Saya sendiri bukan penulis, sebab saya punya aktivitas lain yang pada dasarnya membutuhkan banyak waktu. Namun demikian, saya memaksa diri saya agar di sela-sela itu saya bisa menulis. Bila pun kelak saya meninggal, paling tidak masih ada tulisan saya yang menjadi bagian dari amal jariyah saya. 

Menekuni dunia kepenulisan adalah dunia baru dalam kehidupan saya. Walau sejak kecil sudah akrab dengan aktivis menulis, namun menulis sebagai sebuah aktivitas yang membutuhkan keterampilan khas, sepertinya baru saya seriusi beberapa tahun terakhir. Semangat meliterasi dan berliterasi pun semakin menggeliat pada saat Ramadan lalu. Dan semakin dan lebih menggeliat lagi, insyaa Allah, pada awal Syawal yang bertepatan dengan 21 atau 22 April 2023 ini. Syawal yang penuh fitri pun jadi momentum untuk terus berliterasi dan berseminya literasi dalam diri saya. Salam literasi! (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Aku, Dia & Cinta" 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Alasan Memilih Muhamad Salahudin Pada Pileg 2024

Mengenang Mama Tua, Ine Jebia

Jadilah Relawan Politik Tanpa Mahar!