Anies - Khofifah, Mengapa Tidak?


SAYA sebetulnya tidak begitu tertarik untuk berbicara seputar pasangan pada pencapresan. Selain karena waktu pilpres-nya yang masih lama (14 Februari 2024), saya sendiri bukan pemerhati politik dan tidak berpengalaman untuk melakukan pencocokan untuk mereka yang maju pilpres dan menang. Tapi saya menjadi terpaksa tertarik karena di hampir semua group media sosial membincang tentang ini. Minimal menambah ramai group media sosial yang pada banyak kesempatan sering sepi. 

Perihal siapa pasangan Anies Baswedan pada pencapresan 2024 nanti, saya memiliki beberapa catatan yang bisa jadi menambah bahan analisa para elite partai pengusung Anies yang belakangan kerap menyebut beberapa nama seperti Ahmad Heriawan atau Aher, AHY, Andika Perkasa, Ganjar Pranowo dan Khofifah Indar Parawansa sebagai bakal calon pendamping mantan Gubenur DKI Jakarta periode 2017-2022 yang berakhir pada 16 Oktober 2022 lalu ini. 

Pertama, basis massa. Ceruk massa pemilih Anies dan Aher itu kurang lebih sama. Massa terpelajar dan perkotaan, begitu menurut berita media massa arus utama. Dominan di Jawa Barat, DKI dan Banten. Itu pun masih bersaing dengan basis massa Prabowo yang pada dua kali pilpres (2014 dan 2019) menang di tiga propinsi tersebut. Sehingga bila Anies-Aher berpasangan, kecil kemungkinan basis massanya bertambah. Sehingga bisa jadi pemilihnya juga tidak melampaui ekspetasi kemenangan. Pengusung Anies ingin menang pilpres kan?  

Kedua, mesin partai. Selama ini Anies kerap dinisbatkan sebagai sosok yang dekat dengan PKS. Walau pun NasDem bisa saja mendapat penisbatan bahwa Anies adalah keluarga besar NasDem, terutama pasca deklarasi pencapresan Anies pada 3 Oktober 2022 lalu. Justru karena pada diri Anies dilekatkan pada dua partai dalam waktu bersamaan maka basis massanya engga bertambah. Apalah lagi bila Demokrat merasa ditepikan, bisa jadi suara pemilih berlari ke pasangan lain. Bila Demokrat hanya jadi pelengkap, apa iya mesin partainya full tuk pasangan Anies-Aher? Saya yakin Demokrat engga bakal mau, kecuali sudah pasti jatah pembagian kursi menterinya, itu lain soal.  

Ketiga, isi tas. Pilpres adalah kompetesi finansial. Ungkapan ini memang naif, tapi itu faktanya. Maju pilkades dan pilkada saja butuh dana besar, apalah lagi maju di pilpres tentu jauh lebih besar dananya. Kampanye butuh atribut, atribut perlu anggaran alias isi tas. Iklan juga begitu, pasti perlu cuan. Saksi merupakan salah satu instrumen penting dalam pesta politik termasuk pilpres. Keberadaan saksi yang konsentrasi dan full menjaga suara di TPS adalah niscaya. Termasuk biaya pengamanan ini itu, tentu butuh biaya besar. 

Pilpres, tidak mungkin hanya mengandalkan kerja ikhlas, lalu tanpa biaya yang cukup. Sebab tenaga yang dibutuhkan untuk urusan saksi semacam itu butuh stamina lebih. Bila bukan makanan dan minuman bergizi, minimal amplopnya cukup menenangkan. Kecuali bagi mereka yang sudah tak butuh semacam itu, itu lain soal. Apakah Anies-Aher atau tim dan pendukungnya siap dan punya cuan yang cukup untuk itu, atau persiapan pemenangan pilpres?   

Keempat, elektabilitas. Ini mungkin bukan penentu tunggal dalam pemenangan pilpres, namun berdampak dari sisi opini publik. Karena itu, aspek ini mesti diperhatikan. Semakin sering diberitakan sebagai calon yang mungkin menang maka besar kemungkinan bakal menang. Walau, sekali lagi, bukan satu-satunya variabel kemenangan. Problemnya, elektabilitas Aher saat ini sangat kecil, bahkan namanya tak muncul di radar lembaga survei arus utama. Mungkin muncul di beberapa lembaga survei, namun angkanya tak seberapa. 

Bila Aher dipaksakan untuk berpasangan dengan Anies, itu tidak bakal menambah ceruk basis massa dan ceruk suara Anies-Aher. Padahal, Anies butuh pasangan yang mampu mendulang elektabilitas yang kelak berdampak pada jumlah suara pemilih pada saat pilpres. PKS dan Partai koalisi (bila kelak jadi dengan NasDem dan Demokrat) perlu lebih jeli dalam mematangkan koalisi dan penentuan pasangan Anies. Ingat, khususnya PKS dan Demokrat, selama 10 tahun di luar kabinet pemerintah, masa iya berani mengambil langkah yang berisiko alias kalah lagi?   

Bila Anies hendak meraih kemenangan pada pilpres 2024 maka ia mesti ditopang oleh basis massa yang beragam dan berbeda dengan basis massa pasangannya. Sehingga pasangannya mendulang suara besar. Hal lain, mesin partai pengusung mesti bekerja optimal dan solid yang ditopang oleh kejelasan pembagian kursi jabatan tertentu sejak awal. Ini bukan barang asing dalam politik, karena itu pembagiannya mesti jelas sejak awal. Di samping itu, tentu saja mesti didukung oleh kekuatan cuan yang cukup, termasuk pasangannya mesti yang memiliki elektabilitas yang cukup juga. 

Secara sepintas, Anies mesti dipasangkan dengan sosok yang memiliki basis massa ril, misalnya, tokoh yang berasal dari Jawa Timur seperti Khofifah. Atau bisa juga dari kalangan militer seperti Andika Perkasa dan AHY. Hanya saja basis massa Andika belum jelas, sehingga urungkan saja dengan sosok yang akrab dengan intelijen global dan Barat ini. Mungkin dari sisi jaringan global oke, tapi pilpres butuh basis massa yang ril dan terhitung. Sekali lagi, basis massanya mesti jelas dan nampak. 

Khusus untuk AHY, itu bisa saja, tapi apakah ia punya basis massa yang jelas di luar basis massa Anies? Bila AHY dipasangkan dengan Anies, bisa jadi sebagian kaum milenial memilih pasangan ini, tapi massa pemilih di Jawa Timur dan luar Jawa tidak tercover dengan optimal. Jawa Timur didominasi oleh pemilih lintas partai tapi secara latar keormasan didominasi NU, terutama Gusdurian yang sedikit banyak kerap berbeda sikap politik dengan garis PKB Cak Imin. 

Lalu, bagaimana bila Anies berpasangan dengan Ganjar? Basis pemilihnya memang berbeda. Bila Anies bisa tersenyum di Jawa Barat, DKI dan Banten, namun belum tentu di basisnya Ganjar atau di Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur. Hanya saja PDIP belum tentu solid mendukung, sebab bila Puan tetap maju pasti suaranya terbelah. Apa iya setelah berkuasa dua periode PDIP cuma jadi ban serep, itu pun terkesan dipaksakan? Tentu sangat sulit diterima akal sehat.  

Saya pribadi cenderung pada Anies - Khofifah. Walau asli Surabaya tapi Khofifah punya hubungan emosional dengan Indonesia Timur, minimal Sulawesi dan Kalimantan. Dia lama di Fatayat dan Muslimat NU, berpengalaman di DPR, Menteri, dan kini masih menjabat sebagai Gubernur Jawa Timur untuk periode 2018-2023. Basis massanya jelas: NU dan Jawa Timur. Termasuk sebagian Jawa Tengah.  Dari sisi duit, saya tak begitu tahu kemampuannya. Tapi bisa jadi Jusuf Kalla dkk. menopang karena punya hubungan emosional dan kultural dengan sosok ini. 

Khofifah juga memiliki hubungan yang baik dengan Gusdurian sebagai kelompok kultural yang cukup solid di NU, yang belakangan elite dan massanya berseberangan dengan PKB Cak Imin. Namun, bila Anies-Khofifah benar-benar berpasangan, tentu tidak sepi dari kekurangan dan kelemahan. Terutama dari sisi finansial. Nah, adapun dari sisi intelektualitas, kepemimpinan, pengalaman, rekam jejak, jaringan dan sebagainya, saya kira pasangan ini bisa diandalkan dan kemungkinan besar menang pada pilpres mendatang. Bagaimana, ada pendapat yang berbeda? (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Membaca Politik Dari Titik Nol" 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Alasan Memilih Muhamad Salahudin Pada Pileg 2024

Mengenang Mama Tua, Ine Jebia

Jadilah Relawan Politik Tanpa Mahar!