Belajar Menulis, Optimis Bisa!


HARI ini Kamis 13 Oktober 2022, sekitar pukul 10.18 WIB saya dikagetkan oleh tulisan yang dikirimkan oleh seorang teman yang sehari-hari menjadi ibu rumah tangga sekaligus pengajar di sebuah lembaga pendidikan dekat rumah di mana ia tinggal bersama keluarganya. Hanya sekitar dua atau tiga paragraf dia menulis tentang pendidikan, tepatnya lembaga pendidikan, yang berkaitan dengan aktivitasnya beberapa tahun belakangan ini. Saya tidak melihat banyak atau sedikitnya tulisan, tapi dari semangatnya untuk menulis. 

Satu hal yang menarik dan membuat saya salut padanya, ketika dia menulis di kertas atau buku, tidak langsung menulis di laptop atau status media sosial yang ia punya. Sepintas dari tulisannya saya menyaksikan bahwa ia memiliki ketertarikan pada dunia kepenulisan. Walau masih tahap awal, namun keinginan untuk punya karya tulis sangat terlihat dari semangatnya. Walau agak rewel saya mengingatkan agar ia menulis langsung di WhatsApp, Facebook atau media sosial lainnya, namun niat baiknya mesti diapresiasi.

Saya sendiri walau sudah mengenal aktivitas tulis menulis sejak lama, bahkan sejak sebelum masuk sekolah dasar atau SD. Saya percaya pembaca juga sama dengan saya. Betul atau betul? Namun menulis yang berorientasi pada adanya karya tulis, tentu tidak semuanya demikian. Saya sendiri belajar menulis yang berorientasi pada karya tulis baru saya tekuni beberapa tahun terakhir. Saya tergolong baru di level menulis yang berorientasi pada karya tulis. Bagaimana dengan pembaca di luar sana? 

Dari berbagai pengalaman selama sekian tahun belakangan ini, saya mencatat beberapa hal yang mesti saya jaga agar bisa menghasilkan karya tulis. Pertama, memiliki niat dan tekad yang kuat. Menulis itu butuh niat dan tekad yang kuat dari dalam diri. Menulis yang bertenaga adalah menulis yang dibangun dari kesadaran diri untuk menulis. Niatkan menulis sebagai amal kebaikan, karena itu yang ditulis adalah hal-hal inspiratif, sehingga bermanfaat bagi siapapun terutama diri sendiri. Tekad untuk menulis mesti dipompa terus, jangan kalah oleh lelah. Bila perlu, paksa diri untuk menulis! 

Kedua, banyak membaca. Penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Pembaca yang baik biasanya aktif membaca berbagai referensi. Dengan banyak membaca maka ide, informasi dan perspektif yang diperoleh tentu semakin banyak. Tak ada jalan lain untuk memperbanyak ide, informasi dan perspektif kecuali dengan membaca. Bila seseorang ingin menulis hingga punya karya tulis maka membaca adalah rutinitas yang wajib dijaga. Bila perlu dibikin target, misal, mesti membaca buku 3 halaman sehari, atau tiga artikel sehari. 

Ketiga, biasakan untuk mencatat ide, informasi dan perspektif dari tulisan yang dibaca. Baik yang lama atau biasa kita dengar atau sudah diketahui maupun yang baru atau baru kita ketahui. Sediakan buku khusus untuk mendokumentasi semuanya, sehingga ketika dibutuhkan kita bisa langsung melihat ulang catatan itu. Kita bisa mengutip pendapat tokoh atau ahli dalam bidang tertentu. Setiap kita tentu punya cara tersendiri untuk mencatat hal-hal baru dari apa yang kita baca. Intinya, catatlah poin penting dari apapun yang kita baca. 

Keempat, biasakan diri untuk langsung menulis. Bagaimana pun, menulis itu kata kerja. Maknanya, menulis itu praktik. Sehebat apapun impian kita, misalnya, ingin menulis artikel atau buku berjudul ini itu, hanya akan menjadi kenyataan bila kita langsung menulisnya. Pertanyaannya, apa yang ditulis? Tulislah apa yang terlintas dalam benak kita. Tapi bila kita hendak menulis sebuah tema yang sudah ditentukan, coba lakukan kembali poin kedua dan ketiga, nanti bakal muncul ide. Pantiklah ide kita dengan ide orang lain. Lalu, menuliskan! 

Kelima, berteman dan berdiskusi dengan mereka yang berpengalaman menulis. Kita bisa bertanya dan saling berbagi pengalaman dengan mereka yang sudah aktif menulis bahkan punya karya tulis. Kita bisa mengikuti berbagai forum atau komunitas kepenulisan, di situ kita bisa berkenalan dengan begitu banyak para penulis hebat dari berbagai kota di seluruh Indonesia. Kita pun bisa meminta mereka mengoreksi tulisan kita. Di sini kita mesti siap menerima kritik dan saran mereka. Telinga dibuka lebar, hati juga begitu. Sebab ujian berat bagi penulis pemula itu adalah malas mendengar dan enggan mendengar kritik atau saran. 

Sebetulnya ada banyak hal yang mesti dijaga agar keinginan untuk menulis benar-benar mewujud menjadi kenyataan atau dalam bentuk karya. Dari artikel dan cerita pendek hingga puisi dan buku. Pokoknya, bila kita punya niat dan keinginan yang kuat, maka besar kemungkinan kita bakal terdorong untuk menulis dan menulis. Menulis mesti berkorban waktu, tenaga dan pikiran. Saya sendiri terbiasa mengurangi waktu tidur demi menulis hingga punya karya tulis. Dan, mengurangi jatah makan karena mesti membeli banyak buku.  Lapar dan lelah itu sudah pasti. Tapi bila kita menulisnya Lillah maka lapar dan lelah pun jadi berkah. Hasilnya, saya bisa menulis untuk berbagai surat kabar dan menulis puluhan buku. Jadi, belajar menulis, optimis bisa! (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Menjadi Pendidik Hebat"


Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Alasan Memilih Muhamad Salahudin Pada Pileg 2024

Mengenang Mama Tua, Ine Jebia

Jadilah Relawan Politik Tanpa Mahar!