Wariskan Tradisi Baca pada Anak-Anak!


SAYA lahir pada 8 Agustus 1983 di Kampung Cereng. Kampung ini berada di Desa Golo Sengang, Kecamatan Sano Nggorang, Kabupaten Manggarai Barat-Nusa Tenggara Timur atau NTT. Manggarai Barat atau Mabar berpusat di Labuan Bajo, sebuah kota kecil yang berada di ujung paling barat Pulau Flores. Kampung ini hingga kini belum tersentuh listrik PLN, air PDAM dan jalan raya beraspal. Sangat jauh dari keramaian dan hiruk pikuk kota. Kini saya berdomisili dan berkarir di Cirebon-Jawa Barat.   

Salah satu kebiasaan saya sejak kecil adalah membaca, terutama buku. Termasuk ketika bersekolah di Sekolah Dasar Katolik (SDK) di kampung. Pada saat mencari kayu di hutan, menjaga kerbau di tanah lapang, dan sebagainya, saya sempatkan untuk membaca buku. Walau jumlah bukunya terbatas, namun semangat itu seperti terus bergejolak dari waktu ke waktu. Ayah dan Ibu saya memang termasuk suka membaca. Sebab Ayah saya pernah menjadi guru Sekolah Dasar (SD) dan termasuk generasi pertama di kampung saya yang pernah menempuh pendidikan formal. Dan seingat saya Ayah mengoleksi buku-buku seputar pertanian, buah-buahan dan sebagainya. 

Rupanya tradisi baca Ayah dan Ibu saya mengalir begitu mulus pada diri saya. Sejak menempuh SD hingga kuliah di perguruan tinggi, bahkan hingga kini berumah tangga. Saat mondok di Pondok Pesantren Nurul Hakim (NH), Lombok Barat-NTB tahun 1996-2002, saya terbiasa membaca banyak buku di perpustakaan Madrasah. Kala itu, perpustakaan bukan saja terisi buku tapi juga surat kabar harian, yang saya baca juga. Tentu di samping berbagai kitab berbahasa Arab yang kala itu sudah nongol di perpustakaan NH.  

Kelak ketika saya kuliah di UIN Bandung dan IAI BBC tahun 200-an, membaca merupakan salah satu aktivitas yang akrab dengan diri saya. Saya kerap ke perpustakaan dan kadang ketiduran di meja perpustakaan. Pada momentum tertentu saya rela tidak makan, sebab uangnya lebih senang dipakai untuk membeli buku. Memang terkesan gila, tapi terasa nikmat saja. Pada berbagai momentum, termasuk bila hendak bermain bola dan futsal, saya sempatkan untuk membawa dan membaca buku. Minimal 5 hingga 30 menit menjelang berlaga atau bercumbu dengan si bundar. Tema atau judul bukunya bebas dan saya melakukannya tanpa beban apa-apa. Benar-benar senang dan dari waktu ke waktu semakin terasa manfaat dan dampaknya. 

Ya, saya sangat bersyukur kepada Allah sebab hingga sekarang pun saya masih terdorong untuk terus membaca berbagai buku dan surat kabar harian yang memang cukup mencerahkan. Bukan untuk pamer kecerdasan, sebab saya belum masuk manusia kategori itu. Apalah lagi standar kecerdasan yang autentik adalah yang ingat mati dan aktif menyiapkan amal terbaik untuk hidup setelahnya. Saya membaca berbagai bacaan minimal agar bisa membuka ta'bir kebodohan diri sendiri. Sebab bila saya membaca malah terutama bukan karena untuk menambah pengetahuan, tapi untuk mengenal diri, ya kebodohan diri saya sendiri. 

Alhamdulillah semangat ini terwariskan kepada ketiga anak saya: Azka Syakira, Bukhari Muhtadin dan Aisyah Humaira. Mereka lebih suka baca buku daripada bermain ke mana-mana yang lebih banyak sia-sianya. Mereka aktif mengajak saya dan istri ke toko buku daripada rajin makan ini itu. Memang kuncinya adalah penjadwalan, pembiasaan, dan keteladanan. Bila orangtua melakoni tiga hal ini maka anak pun akan tertarik dan terpacu untuk melakukan hal serupa. Memang buku (fisik) bukan satu-satunya sumber bacaan, sebab sekarang era digital, ada begitu banyak sumber bacaan. Namun membaca buku secara langsung rasanya beda. Benar-benar beda. Bila ingin merasakan nikmatnya membaca, silahkan mencoba sendiri!  

Ya, tradisi ini kini terwariskan pada anak-anak saya. Memang masih pada proses "menjadi", namun geliatnya sudah semakin membanggakan. Di sela-sela waktu apapun, membaca selalu menjadi rutinitas mereka. Saya dan istri juga semakin termotivasi untuk melakukan hal yang sama. Kebetulan di rumah ada ribuan buku, jadi lebih mudah untuk membacanya. Saya sangat percaya bahwa membaca adalah tradisi utama dan mesti dijaga dengan baik dari lingkungan keluarga. Sebab keluarga adalah pendidikan pertama dan utama bagi anak. Ungkapan mashur mengingatkan, "Semakin banyak membaca maka semakin tahu mana yang benar dan yang salah, mana yang pantas dan mana yang tak pantas", begitu seterusnya. Ya, mari wariskan tradisi baca kepada anak-anak kita! (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Melahirkan Generasi Unggul" 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Alasan Memilih Muhamad Salahudin Pada Pileg 2024

Mengenang Mama Tua, Ine Jebia

Jadilah Relawan Politik Tanpa Mahar!