Mari Nyalakan Terus Api Literasi Diri!


SELAMA beberapa tahun belakangan ini kegiatan literasi semakin menggeliat di seluruh Indonesia, baik di lembaga pendidikan formal maupun di berbagai komunitas yang memang akrab dengan aktivitas literasi. Literasi memang bukan sekadar baca dan tulis, namun keduanya menjadi tradisi yang begitu akrab dan menjadi perhatian bagi banyak orang, terutama mereka yang memang punya ketertarikan pada dua tradisi yang sudah dikenal umat manusia sejak sekian abad silam ini. 

Sebagai pemula ataupun sudah lama bergulat dalam dunia literasi, khusus dunia baca dan tulis, kita tentu merasakan betapa menjaga tradisi literasi itu sangat berat. Sebagaimana membaca, misalnya, menulis itu butuh kesungguhan, kerja keras dan pengorbanan yang tak sedikit. Secara khusus untuk pengorbanan, kita pun butuh waktu, tenaga dan gagasan, di samping kemampuan atau keterampilan merangkai kata menjadi tulisan yang bermakna dan nyaman dibaca. 

Bila selama ini kita masih menganggap karya tulis itu karya remeh dan murah, maka dengan menulis satu karya tulis saja kita bakal merasakan bagaimana berat, lelah, dan sulitnya menghasilkan karya tulis. Prosesnya panjang dan memang butuh waktu yang juga panjang. Kita pun mestinya tersadarkan betapa menulis dan karya tulis itu bukan lakon dan karya remeh. Di sini ada makna dan harga yang kita perjuangkan, bahkan mestinya kita peroleh.  

Namun selama ini, terutama bagi mereka yang merasakan dan mengalami sendiri, bahwa dunia kepenulisan, karya tulis bahkan kita sendiri bakal dihina dan diremehkan oleh pembaca. Selain itu, karya tulis kita juga tak laku atau enggan dibaca pembaca, bahkan oleh sesama penulis pun karya tulis sekaligus kita sendiri dianggap sepele dan tak dianggap siapa-siapa. Guncangan pada diri kita pasti terjadi di sini. Mental dan psikologis kita bakal terganggu. Bila tak sabaran dan baperan, maka kita bakal mari langkah atau mundur dari gelanggang.  

Pada kondisi demikian, muncul pertanyaan yang mungkin tak selamanya kita percaya bahwa pertanyaan itu tiba pada kita. Misalnya, apakah kita masih mau terjun di dunia kepenulisan dengan ujian berat berupa kesediaan mengambil risiko yang tak sedikit? Masihkah kita mau meniti jalan literasi di tengah gempuran hoax yang semakin geliat hadir di hadapan masyarakat-pembaca? Dan, masihkah kita mau memaksa diri agar istiqamah menulis walaupun kita tidak berprofesi sebagai penulis? 

Ingat, menulis bukan sekadar tentang abjad yang tersusun lalu menimbulkan makna tertentu yang membuat orang nyaman dan senang, menulis juga bermakna kesediaan untuk memaksa diri agar dalam kondisi apapun bisa berkarya. Minimal ada kesungguhan untuk mencicil tulisan. Mungkin tak perlu ideal dan seketika jadi, sebab sekali lagi kita bisa mencicilnya. Menyusun target dan tentukan fokus kita: menulis artikel, cerpen, puisi, buku atau semuanya? Lalu kita fokus praktik menulis. Misalnya, satu baris atau satu paragraf sehari, lalu fokus padanya, rutin setiap hari. Begitu seterusnya, hingga jadi karya tulis yang utuh.  

Ada banyak cara yang bisa kita tempuh agar geliat kita untuk menulis tetap terjaga bahkan lebih geliat lagi, diantaranya, bergabung pada berbagai komunitas kepenulisan, berkenalan dan berdiskusi dengan mereka yang menekuni dunia kepenulisan, rajin berkunjung ke toko buku, sediakan anggaran khusus untuk membeli buku, paksa diri untuk membaca buku setiap hari, aktif mengikuti berbagai perlombaan atau audisi menulis, sediakan waktu khusus untuk menulis, dan aktif publikasi seperti mengirim ke surat kabar, media online dan atau blog pribadi kita. 

Baik atau buruknya tulisan, bermanfaat atau tidaknya tulisan atau karya tulis tak selalu diukur oleh jumlah pembaca yang suka bahkan yang membacanya. Sebab setiap tulisan punya momentum dan takdir pembaca sekaligus sejarahnya sendiri. Jangan pernah terluka dan mengalah karena apa yang dikaryakan tidak menggoda banyak orang untuk membacanya. Pembaca pertama karya kita adalah diri kita sendiri, pasangan hidup kita, anak keturunan kita, dan siapapun di luar sana yang tak pernah remehkan kreatifitas dan produknya. Bila kita fokus pada target, telaten melakukannya dan paksa diri untuk berkarya, maka sejatinya kita selalu punya alasan untuk terus menulis hingga menghasilkan karya tulis yang layak kita baca dan dirindukan oleh pembaca. Singkatnya, mari nyalakan terus api literasi diri! (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Kalo Nikah, Cinta Aja!" 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Alasan Memilih Muhamad Salahudin Pada Pileg 2024

Mengenang Mama Tua, Ine Jebia

Jadilah Relawan Politik Tanpa Mahar!