Mari Menulis atau Mati!


"Mohon ijin bertanya. Sebaiknya sebagai penulis itu apakah apa saja ditulis atau menulis apa yang menjadi kepakarannya?", begitu pertanyaan Mas Ryantori di Group WhatsApp Penulis G20. Seingat saya, pertanyaan ini sebagai respon beliau untuk tulisan saya yang berjudul "Mari Nyalakan Terus Api Literasi Diri!" yang dipublikasi oleh dua media online dan satu blog pribadi saya. Kebetulan tulisan dan link-nya saya share di beberapa group WhatsApp termasuk Group WhatsApp Penulis G20. Semoga dugaan saya benar. Kalau tidak, maaf saya terlalu percaya diri. 

Tetiba beberapa anggota group pun ramai meresponnya. "Bergantung tujuan penulisannya. Jika untuk ekspresi diri, maka bisa menulis apa saja. Kalau tulisan ilmiah sebaiknya sesuai kepakaran penulis", ungkap sahabat saya yang sedang menggarap buku "Aku, Dia dan Cinta" bersama saya dan puluhan penulis lainnya, Mas Achmad Zulfikar. Lalu Mas Ryantori kembali bertanya, "Mohon penjelasan. Menulis untuk ekspresi diri itu seperti apa konkritnya?" Bagi saya, ini merupakan sebuah obrolan bergizi yang memulai akhir pekan hari ini, Sabtu 17 September 2022.  

Tak lama kemudian, Bang Arlen Ara Guci, penulis buku "Surat Dari Tepi Barat" muncul dan merespon. "Gak ada aturan baku, seorang penulis nulis jenis tulisan tertentu. Juga tak ada anjuran atau larangan nulis sesuatu sesuai kepakaran tertentu. Selama yang ditulis memang layak tayang umpama di media massa ya, redaktur takkan cek background kepakaran sang penulis. Cuman, minjem kata-kata motivasi menulis salah seorang penulis papan atas tanah air, "Seorang penulis yang baik, ia bisa menulis apa saja, kapan saja, di mana saja. Seroang penulis yang baik, ia dapat menulis fiksi atau pun non fiksi sama baiknya. Selamat menulis!", ungkapnya. 

"Contoh konkrit: nulis di buku diary atau catatan harian. Nulis update status di medsos yg isinya curhat si penulis..itu juga contoh konkret ekspresi diri. Atau, nulis di blog sendiri yang isinya segala apa yang dipikir, dirasa dan dialami. Itu contoh konkret", lanjut penulis buku  "Jangan Percaya Air Mata Bunda" sekaligus penggiat literasi bersama saya juga ratusan penggiat lainnya dari seluruh Indonesia di Rumah Produktif Indonesia (RPI) yang akrab saya sapa Bang Ara Guci ini. 

Setelah membaca respon peserta group, saya pun turut merespon dan menyampaikan pendapat seperlunya pada Mas Ryantori. "Waduh engga tahu Om. Kalau aku sih menulis bebas. Bukan yang berat-berat. Aku menulis bukan ilmu, cuma ambil inspirasi saja. Entah itu masuk kategori apa", jawab saya singkat. Komentar ini tentu saya sampaikan apa adanya. Sebab saya memang termasuk yang menulis bebas tentang sapa saja yang terlintas dan terjadi di sekitar. Saya termasuk yang bukan penulis ahli di bidang tertentu, walau secara akademik cukup beralasan untuk menulis tentang tema tertentu sesuai perjalanan akademik saya selama ini. 

Berikutnya, saya juga merespon isi respon Mas Achmad Zulfikar yang turut meramaikan obrolan hangat pagi ini di Group WhatsApp yang diikuti beragam profesi ini. Bahwa menulis tergantung tujuan dan substansi tulisannya. Bila karya ilmiah akademik memang perlu latar keilmuan tertentu, sementara bila sekadar ekspresi ya semua orang bisa melakukannya. "Saya memilih pola ini selama ini. Saya termasuk yang jarang baca teori menulis ini itu. Walau pun pada fakta atau produknya saya malah ketat dalam hal teori penulisan. Walau masih dalam tahap belajar, tapi kadang terasa sendiri. Eh ternyata saya orangnya serius dalam hal penempatan tanda baca", ungkap saya. 

Saya pun merespon Bang Ara Guci seperlunya.  "Selama ini saya menjalankan ini Om Guci. Alhamdulillah tulisan saya dimuat di koran dan media online. Entah apa alasan redaksi menerima tulisan saya dan memuatnya di media mereka. Kalau dimuat itu rasanya senang banget. Maklum saya orang kampung, jauh dari listrik, jauh dari jalan beraspal dan tak ada air PDAM. Untuk ngechas HP dan laptop mesti jalan kaki 5-8 jam. Kalau pakai motor, tapi jarang ada ojek, itu biasanya 2-3 jam. Intinya, menulis adalah jalan pengabdian, minimal untuk diri sendiri dan keluarga kecil. Sekali lagi, dimuat oleh media saja sudah senang. Kalau engga dibuat, ya saya simpan di blog pribadi saya. Kebetulan ada 6 blog pribadi, yang benar-benar aktif ada 4 blog", ungkap saya. 

Ya, ya sepertinya menulis bebas sangat berlaku untuk pemula seperti saya. Kalau tuk penulis kawakan, akademisi dan peneliti yang sudah level "ahli" alias "jagoan" sepertinya sudah tak perlu ini itu lagi. Sebab idenya dan keterampilannya untuk menghasilkan karya sudah di atas rata-rata. Sementara saya, setahu saya rerata tulisan saya lebih banyak ekspresi diri. Seperti suara dari dalam diri, respon sosial dan serupanya. Kalau dibaca terkesan seperti curhat, tapi bukan benar-benar curhat. Walau demikian, saya juga menulis hal-hal yang cukup serius seperti buku "Melahirkan Generasi Alpha Berkarakter Pancasila" yang diminta oleh satu Dirjen pada Kementrian tertentu beberapa bulan lalu. 

Menulis memang sebuah proses belajar yang tak pernah selesai. Apalah lagi bagi pemula, sebanyak apapun tulisannya, dia tetap perlu banyak belajar. Saya sepakat dengan Bang Atau Guci bahwa setiap orang punya pengalaman dalam menghasilkan karya tulis. Di situ ada cita rasa dan pengalaman berharga. "Proses kreatif kepenulisan setiap orang memang beragam. Kalo si penulis memang punya tekad kuat dalam menulis, dalam perjalanan ia akan terus menemukan cita rasa terbaik dalam tulisannya. Dan, biasanya, juga agak muncul dengan sendiri style atau khas dari setiap tulisan-tulisannya. Dengan proses begitulah, kita mengenal tulisan-tulisan dari penulisan kenamaan yang punya khas masing-masing, sebut saja tulisan-tulisan seorang Emha Ainun Najib, Seno Gumira, Gunawan Muhammad, Leila Chudori, Dahlan Iskan dan lainnya", paparnya. 

Ya, saya termasuk yang langganan membaca tulisan para tokoh seperti Prof. Dr. Haedar Nashir, Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi, Prof. Dr. Yudi Latif, Dr. Adian Husaini, dan Abah Dahlan Iskan. Secara khusus, setiap hari saya membaca tulisan Abah Dahlan Iskan, Bos Besar Jawa Pos Group yang berpusat di Surabaya, Jawa Timur ini. Beliau menulis artikel sederhana mengalir begitu saja. Bukan ahli atau pakar, bahkan beliau tak mau disebut sebagai penulis. Tapi karyanya sehari-hari dipublikasi oleh Surat Kabar Jawa Pos Group di berbagai kota. Tulisannya pun mengisi sebagian waktu pembaca untuk membaca karyanya. Terlihat sekali ekspresi nurani beliau yang selalu terpantik untuk berbicara sekaligus merespon banyak kejadian. Inspiratif dan saya termasuk yang kerap bertanya: mengapa beliau yang konon dalam kondisi sakit bisa menulis setiap hari? Ini ajaib. Benar-benar inspiratif. Nyata. Bukan teori. Tapi entahlah. Inilah kepenulisan. Hanya terasa bagi yang sehari-hari menulis.

Saya pun semakin termotivasi untuk menulis setiap hari, apapun tema dan materinya. Saya tidak terpaku pada tema tertentu. Apalah lagi saya bukan pakar bidang tertentu, saya pun punya peluang untuk menulis tentang banyak hal. Bukan teori ini itu, tapi lebih kepada tema-tema inspiratif, semacam refleksi dan serupanya. Entah apakah itu masuk karya ilmiah atau tidak, itu bukan urusan saya. Ada banyak yang kritik, memberi masukan juga apresiasi. "Masya Allah. Luar biasa sekali mas Syam ini. Apapun bisa jadi bahan tulisan yang seru. Paling produktif menulis sepertinya ini. Bisa jadi contoh bagi mereka yang pengen menulis dengan baik ya", apresiasi Bang Ara Guci sesaat kemudian di group WhatsApp yang sehari-hari menyuguhkan banyak informasi ini. 

Saya sendiri menulis bukan sekadar karena ada niat dan tekad dari dalam diri, tapi juga adanya dukungan dan dorongan dari banyak orang. Termasuk inspirasi dan motivasi dari penulis lain yang lebih berpengalaman dan sepak terjangnya sudah tak bisa dianggap sepele. Termasuk dari Bang Ara Guci yang kerap menjadi narasumber di beberapa forum kepenulisan selama ini. "Kan Om Guci dulu yang "Membanting" saya. Ya buku yang membincang Palestina itu. Bukunya sudah dibaca puluhan tahun silam. Eh penulisnya baru kenal langsung lewat Zoom berapa bulan lalu. Dan hari ini bisa "Ngomel" bareng di sini. Kapan "Banting" lagi Om?", komentar saya, singkat. 

Walau demikian, kita perlu memahami bahwa menulis itu laksana pisau bermata dua, bisa mengandung dua hal: kebaikan dan keburukan. Bila pembaca langsung membaca dan menelan begitu saja isinya, maka akan berbahaya. Maka seorang penulis mesti hati-hati dan jeli, sehingga tulisannya benar-benar berisi kebaikan dan inspiratif. "Menulis itu sebenarnya baik. Namun, laksana pisau bermata dua. Sekiranya terselip sesuatu yang bersifat salah dan sesat. Dan kemudian diamini oleh pembaca tanpa reserve, maka jadilah dia menyesatkan pula orang banyak", ungkap Mas Ryantori pada komentar berikutnya.  

Ya, tulisan bakal ketahuan isi dan substansinya ketika dishare ke banyak orang melalui media yang tersedia. Bila dipublikasi, maka besar kemungkinan tulisan ada peluang untuk dibaca, termasuk mendapat masukan dari pembaca. Kalau tulisan tak dishare, seideal apapun teori dan sebagus apapun isinya, yang baca cuma penulisnya. Dan ini yang penting: baik atau tidaknya engga ketahuan. Jadi, mendingan dipublikasi. Semakin aktif publikasi, semakin banyak respon atau masukan baru dari pembaca. Dapat energi baru dan ide baru. Saya termasuk yang beranggapan bahwa menulis sebagai pertanda adanya kehidupan. Jadi, mari menulis, atau mati! (*) 


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Merawat Indonesia" 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Alasan Memilih Muhamad Salahudin Pada Pileg 2024

Mengenang Mama Tua, Ine Jebia

Jadilah Relawan Politik Tanpa Mahar!