Penjara dan Rezeki yang Halal!


TINDAKAN kriminal atau pelanggaran hukum sudah menjadi berita yang menghiasai pemberitaan media massa sehari-hari. Seperti tak ada jera, mereka yang tersangkut kasus adalah mereka yang paham hukum dan bisa jadi sehari-hari bergulat dengan penegakan hukum. Namun apa daya, mereka pun tersangkut juga. Tak sedikit diantara mereka yang saya kenal, baik pejabat dan politisi, maupun pengusaha, pengacara, dan sebagainya. Benar-benar fenomena yang memilukan dan memalukan.  

Sudah 11 orang pejabat, tokoh dan orang yang saya kenal dekat yang masuk penjara karena terlibat berbagai kasus pidana: korupsi, suap, kasus tanah, dan sebagainya. Lalu ada beberapa orang yang masih tersangkut kasus serupa. Mereka masih berurusan dengan penegak hukum. Dipanggil, jadi saksi. Dan begitu seterusnya. Kejadiannya mirip dengan kejadian sebelum-sebelumnya. Awalnya jadi saksi, ujungnya jadi tersangka, lalu terdakwa dan akhirnya terhukum. Ujungnya mendekam di jeruji besi alias penjara. 

Bayangkan, selama ini sudah mengeluarkan biaya untuk membangun citra dan reputasi baik di mata masyarakat, namun karena tidak sabar untuk mendapatkan yang halal dengan cara yang halal malah menempuh cara yang haram, lalu terjebak memperoleh sesuatu dengan cara yang tak seharusnya dipilih. Malu itu sudah pasti. Bukan mereka saja, tapi juga keluarga. Suami, istri, anak, orangtua, mertua, tetangga, kolega, teman kerja, dan masih banyak lagi. Menyesal memang selalu datang di ujung, namun menyesal tanpa membenahi diri sama saja dengan membuka pintu penjara bagi diri sendiri. 

Tak sedikit yang bertanya mengapa saya tidak tersangkut atau tidak menjadi bagian dari kasus semacam itu. Apa iya tidak mengambil bagian? Jawaban saya sederhana dan tegas: Saya bergaul dengan siapa saja, namun tetap menjaga diri dari tindakan kriminal dan serupanya. Selebihnya, alhamdulillah selama ini dan insyaa Allah ke depan, jangan kan yang haram, yang subhat pun tidak saya ambil. Saya sudah cukup sama yang halal. Sesedikit apapun, itu adalah jatah rezeki terbaik dari Allah saya dan keluarga kecil saya. Saya bersyukur atas apa yang saya peroleh dengan cara yang halal. 

Memang pada berbagai kesempatan saya diteror dengan ungkapan senonoh dan jijik: "sok suci ah, kerjanya kritik saja, emang Anda bisa kerja ini itu?" Dan masih banyak lagi yang lainnya. Padahal saya selalu mengingatkan siapapun, termasuk mereka yang saya kenal agar menjauhkan diri dari pelanggaran hukum. Sebab yang malu bukan mereka saja, tapi juga keluarganya juga orang yang kenal dekat dengan mereka. Bila tak bertemu langsung, biasanya saya sindir lewat tulisan di koran atau surat kabar, media online dan media sosial. 

Mengingatkan orang lain pada kebenaran memang berat dan kadang disalahartikan. Padahal tujuan dan caranya sudah baik. Saya kerap menyampaikan secara langsung dengan cara yang sesantun mungkin, biar tidak tersinggung dan merusak silaturahim. Apalah lagi bila itu pejabat, saya selalu menggunakan diksi yang mudah dipahami dan tidak merendahkan martabat mereka. Tapi tetap saja dianggap sok suci dan serupanya. Benar ungkapan mashur mengingatkan, "Menyatakan dan mengingatkan pada yang benar itu berat sekaligus pahit!" 

Padahal kalau mau jujur, justru mereka sendirilah yang merendahkan martabat mereka sendiri dengan tindakan senonoh dan norak seperti korupsi, suap, kasus tanah, dan sebagainya. Mereka sendiri yang bermain proyek dengan anggaran yang begitu besar, bukan saya. Saya engga mau berurusan dengan hal-hal yang bukan hak saya. Bukan karena sok suci, tapi memang saya tidak berbakat untuk bermain di area basah dan berbahaya semacam itu. Bagi saya, saya sudah cukup dengan rezeki yang halal!

Bila pun ada kebutuhan darurat dan benar-benar saya mesti memperoleh uang tertentu, saya lebih baik meminjam kepada beberapa tokoh atau orang dengan cara yang baik. Itu pun tidak lebih dari Rp 1 juta. Biasanya beberapa hari, atau paling lama beberapa bulan. Tentu saya berupaya bakal mengembalikan bila sudah ada uang. Berat memang, tapi menempuh cara yang halal semacam ini jauh lebih bermartabat daripada menghinakan diri dengan cara yang haram atau melanggar hukum. Asal jujur dan tidak menghamburkan uang, tapi benar-benar karena ada kebutuhan darurat yang berkaitan dengan nyawa seperti sakit berat, atau ada acara mendadak dan bersifat sangat penting juga mendesak. 

Bagi siapapun di luar sana yang hendak menyampaikan kebenaran, sampaikan dengan cara yang santun dan tak merendahkan martabat orang. Sebab sebaik apapun caranya tetap saja dianggap sok suci. Apalah lagi bila disampaikan dengan cara yang kurang tepat, tentu bakal dihina dan dilecehkan. Tapi itu bukan menjadi penghalang untuk terus saling menasehati pada kebaikan atau kebenaran. Sebab sebaik-baik teman atau orang adalah yang selalu mengingatkan agar kita atau orang lain di luar sana tidak terjebak pada yang salah. Sementara yang seburuk-buruk teman atau orang adalah yang selalu menebar pujian pada kita padahal ujungnya penjara. Jadi, daripada bingung dan nanti malah berujung di penjara, lebih baik cukupkan diri dengan rezeki yang halal! (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Merawat Indonesia" 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Alasan Memilih Muhamad Salahudin Pada Pileg 2024

Mengenang Mama Tua, Ine Jebia

Jadilah Relawan Politik Tanpa Mahar!