Menulis itu Berat, Tapi Nikmat!


TAK sedikit yang menganggap menulis itu sebagai sesuatu yang sepele, sederhana dan mudah. Bagi mereka, menulis tak butuh waktu, tenaga dan pemikiran yang wah. Bahkan tak butuh keterampilan yang memadai. Sehingga tak perlu dianggap istimewa, biasa saja. Di beberapa forum seminar terutama yang berkaitan dengan tradisi literasi, lebih spesifik lagi tradisi menulis, saya sering mendengar ungkapan yang mirip dengan anggapan semacam itu. Pada intinya mereka menganggap menulis itu benar-benar mudah. 

Ya, sikap atau anggapan semacam itu adalah hak masing-masing orang. Hanya saja, bila mereka mau mencoba atau dilakoni maka bakal diketahui atau dirasakan sendiri bahwa menulis itu rumit, sulit dan sangat berat. Butuh waktu, tenaga, pemikiran dan keterampilan, juga ketelatenan. Sebagai ujicoba, silahkan menulis artikel delapan atau sepuluh paragraf. Mungkin bagi mereka yang sudah terbiasa, tulisan sependek itu hanya membutuhkan waktu puluhan menit. Tapi bagi mereka yang belum terbiasa, bisa jadi membutuhkan waktu berjam-jam atau berhari-hari.  

Pertama, waktu. Ketika seseorang hendak menulis, misalnya, artikel, ia mesti bergulat dengan waktu. Ia mesti membaca berbagai referensi atau sumber tulisan yang berkaitan dengan artikel yang sedang ia garap. Bukan satu referensi atau tulisan yang dibaca, tapi banyak. Ia butuh waktu yang tak sedikit untuk membaca, memahami dan menemukan substansi atau pesan bacaan tersebut. Apakah kelak referensi yang ia baca layak dikutip atau dirujuk, itu belum tentu. Sebab merujuk sesuatu sangat ditentukan oleh substansi artikel yang sedang ia garap. Menulis buku tentu jauh lebih banyak waktu yang dibutuhkan. Bukan sehari, bisa jadi berbulan-bukan bahkan bertahun-tahun. 

Kedua, tenaga. Seperti yang sudah saya jelaskan di bagian pertama, bahwa menulis itu butuh waktu yang banyak. Pada saat yang sama, tentu bila seseorang hendak menulis itu membutuhkan tenaga yang tak sedikit. Selain mendapatkan rujukan dan membacanya, ia juga bakal dilelahkan oleh upaya untuk membaca referensi. Ditambah lagi dengan memahaminya, lalu kelak merujuknya. Tidak semua hal penting dari bacaan tersebut bisa dirujuk. Ditambah lagi ketika nanti sudah mulai menulis dan mengedit tulisan. Tenaga benar-benar dikuras. 

Ketiga, pemikiran. Tentu menulis apapun butuh pemikiran. Jangan kan artikel atau buku, menulis status media sosial pun butuh pemikiran. Salah atau tidaknya, berkualitas atau tidaknya, itu urusan ke sekian. Saya berpengalaman menulis artikel untuk berbagai media massa terutama surat kabar. Awalnya saya membayangkan bahwa menulis artikel tema tertentu itu mudah. Eh ternyata, saya benar-benar merasakan sendiri: sangat berat. Saya mesti memahami beberapa poin yang hendak saya ungkap pada artikel tersebut. Benar-benar saya rasakan betapa menulis itu butuh ide juga pemikiran. 

Keempat, keterampilan. Seperti aktivitas yang lain, menulis juga butuh skill atau keterampilan yang tak bisa dianggap sepele. Pada umumnya kita lebih suka berbicara daripada menulis. Bila pun ada yang suka berbicara, belum tentu bisa menulis. Mereka yang suka menulis pun belum tentu jago berbicara. Tapi tak jarang yang jago berkomunikasi, juga jago menulis. Bahkan ada yang menulis artikel dalam waktu sekian menit. Bagi yang tak biasa, tentu hal semacam ini asing bahkan mungkin tak dianggap ada. Tapi faktanya tak sedikit yang mampu melakukannya. Kuncinya adalah keterampilan menulis. 

Semua aktivitas akan menjadi hak yang biasa manakala dibiasakan, ujungnya nanti adalah bisa. Ungkapan Mashur mengingatkan kita, "Orang bisa karena biasa!". Maksudnya, dalam konteks menulis, seseorang sejatinya dapat atau mampu menulis hingga menghasilkan karya tulis yang layak dibaca, minimal artikel pendek. Bahkan bila ditekuni atau ditelateni dengan serius bakal mampu menulis buku. Pada dasarnya semua kesulitan dan hambatan yang dihadapi bisa dihadapi manakala seseorang telaten untuk belajar dan langsung praktik menulis. Di sinilah letaknya menulis itu berat tapi nikmat. Ya, pada saat karya tulis kita tuntas dan dibaca bahkan bermanfaat bagi banyak orang. Selamat mencoba! (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis artikel di berbagai surat kabar dan media online 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Alasan Memilih Muhamad Salahudin Pada Pileg 2024

Mengenang Mama Tua, Ine Jebia

Jadilah Relawan Politik Tanpa Mahar!