Politisi Bertaubat, Pemilih Bermartabat!


RANCANG bangun politik Indonesia sejak negeri ini digagas oleh para founding father bangsa, belum menemukan ruang makna yang baku. Etape-etape politik Indonesia diwarnai berbagai taste politik menurut selera elite pemegang kendali kekuasaan. Politik yang juga berarti kekuasaan, dipresepsi tak lebih dari sebuah prestise kuasa sebagaimana teori kebutuhan yang lahir dari rumusan Abraham Maslow. Tingkatan tertinggi dari tujuan hidup manusia, menurut Needs Theory adalah aktualisasi diri. 

Oleh sebagian besar pelakunya, politik dianggap sekadar sebagai satu medan aktualisasi sehingga ia kerap hadir tanpa substansi. Sepintas, hal ini dapat kita baca dari laku para politisi yang mengkristal menjadi opini publik. Politik itu sangat jijik dan kotor. Ungkapan itu kerap kita dengar dari sebagian elemen masyarakat yang terserang pandemi apatisme terhadap politik. Simpulan semacam itu tak bisa kita salahkan, sebab mereka hanya mendefinisi dari apa yang mereka tangkap dari berbagai informasi yang beredar luas di masyarakat. 

Seperti apatisme masyarakat, demikian pula para politisi yang aktif menjadi pelaku politik praktis. Wajar saja bila muncul semacam keresahan terkait stigma negatif semacam itu. Bahwa stigma tersebut tak sepenuhnya benar, tak juga sepenuhnya salah. Masih ada politisi yang bekerja tulus untuk rakyat. Politik pun tak selalu jijik dan kotor. 

Kerancauan penyebab timbulnya praktik politik yang menyimpang dari harapan rakyat, terjadi karena berbagai faktor, selain karena derasnya pengaruh liberalisme politik yang merambah dalam banyak aspek, juga karena terjadinya misunderstanding tentang pengertian politik itu sendiri. Di level akademik politik kerap dimaknai secara filosofis dan konseptual, sementara tataran implementasinya oleh para politisi politik mengalami deviasi makna yang terlampau jauh oleh tafsir-tafsir subjektif sesuai kepentingan para politisi itu sendiri. 

Politisi kerap dipersepsi sebagai pekerjaan yang pada akhirnya mendorong banyak orang untuk berlomba menjadi politisi dengan berbagai cara demi meraih tampuk kekuasaan. Imajinasi bahwa politik menjanjikan ekonomi membentuk paradigma dan menelikung mental secara destruktif sebagai job-seeker dan worker atau pencari kerja. Ada yang kemudian menggantungkan angan di dunia politik mereka berharap akan bekerja, memenuhi tuntutan kebutuhan material. 

Politik pun telah mengalami proses reduksional yang akut, terutama reduksi makna oleh politisi yang menampilkan wajah politik dengan uang dan kekuasaan, seiring perjalanan waktu menjadi salah satu penyebab reduksi makna itu terjadi. Rentang waktu sejak rumusan politik telah mencapai ratusan tahun, dalam masa waktu itu, tidak ada upaya untuk menyegarkan perilaku politik yang menyimpang. 

Banyak peristiwa politik dan penyimpangan makna politik yang ditampilkan dalam panggung politik kita akhir-akhir ini. Sebut saja penyakit korupsi yang telah menggurita mulai dari pejabat kecil sampai pejabat negara, transaksional dalam perebutan kekuasaan juga jabatan tertentu dengan money politics, sogok-menyogok pemilih dengan berbagai pola di momentum pemilihan umum (Pemilu), dan sebagainya.

Sebagai pemilih, kita didesak untuk meningkatkan peran penting sebagai penagih peran politisi alias partai politik (Parpol). Kita berharap para politisi bisa bertaubat. Dalam konteks yang lebih praktis, anggota legislatif (Aleg) dan calon legislatif (Caleg) asal Parpol kita desak agar menjalankan tugasnya, misalnya, pertama, sebagai juru bicara Parpol.

Bagaimanapun, peran konstitusional Parpol akan berjalan dengan baik manakala instrumen di dalamnya seperti Aleg dan Caleg mampu menjadi juru bicara terbaik Parpol. Sebagai juru bicara, Aleg dan Caleg bukan saja mengkampanyekan dirinya tapi juga mesti mampu menjelaskan ke khalayak (publik) tentang visi, misi, platform dan agenda strategis Parpolnya dalam membangun Indonesia dalam berbagai level pemerintahannya, baik pusat maupun daerah. Menjadi juru bicara tentu bukan semata soal kelancaran berbahasa, tapi kemampuan membangun jaringan dan mengkonsolidasikan massa. 

Kedua, sebagai martir Parpol. Sebagai martir Parpol, Aleg dan Caleg tak cukup mempertahankan dirinya sebagai Aleg dan sibuk membangun citra juga kampanye bagi pemenangan dirinya sebagai Caleg. Mereka juga harus mampu menjadi martir atau dalam kajian filsafat politik disebut sebagai ideolog politik dalam hal ini ideolog Parpol. Sebagai ideolog Parpol, Aleg dan Caleg mesti memiliki karakteristik: konsisten, memihak dan melawan. 

Konsisten, dapat diwujudkan dengan menjaga nilai-nilai luhur Parpol sekaligus negara seperti nasionalisme, patriotisme, integritas, pengorbanan, kerjasama, tolong menolong, kekeluargaan dan serupanya. Dalam hal yang lebih teknis, sebagai ideolog Parpol, konsisten dapat diwujudkan dengan cara menjaga sekaligus mewujudkan visi, misi dan platform Parpol dalam tataran praktis. Mereka mesti mampu menjelaskan secara teknis-aplikatif berbagai hal yang sifatnya filosofis dan gagasan Parpol, sehingga publik mampu memahami lebih jauh agenda (Aleg dan Caleg) Parpol bersangkutan ketika kelak mendapat amanah publik. 

Memihak, dapat diwujudkan dengan melakukan advokasi terhadap berbagai kepentingan publik (bangsa dan negara) di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Betul bahwa membela kepentingan diri dan kelompok adalah penting sekaligus sebagai wujud keberpihakan, namun ada kepentingan lain yang lebih besar dan mendesak untuk dibela, yaitu kepentingan bangsa dan negara seperti menjalankan fungsi legislasi, anggaran dan kontrol. Apalagi pasca terpilih (menjadi Aleg), maka Aleg bukan sekadar milik Parpol tapi juga milik publik yang hadir di ruang publik sebagai penggawa lembaga publik dengan segala fungsi dan wewenang yang diembannya.  

Melawan, dapat diwujudkan dengan melakukan interupsi bahkan perlawanan terhadap segala sikap, tingkah dan kebijakan penguasa (eksekutif) yang bertentangan dengan konstitusi negara dan rasa keadilan publik. Sederhananya, Aleg dan Caleg tak merasa kerjanya selesai manakala berbagai Undang-Undang telah rampung dan Rencana Anggaran disahkan. Mereka justru semakin merasa punya kerja besar manakala masih ada daerah yang tidak terjangkau pembangunan dan masih ada rakyat yang tertimpa penderitaan: sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, kesehatan dan politik. 

Ketiga, sebagai teladan publik. Betul bahwa Aleg dan Caleg adalah milik Parpol. Namun dalam konteks sistem pemilihan umum (Pemilu), tidak cukup sampai di situ. Sebagai figur yang ditetapkan sebagai Aleg maupun Caleg dengan berbagai proses seleksi hingga terpilih menjadi Aleg dan Caleg melalui proses yang ketat, maka mereka pun dapat diidentifikasi sebagai figur publik yang mesti bertingkah dan bersikap layaknya sang teladan yang layak dicontoh publik. Misalnya sopan, santun, ramah, jujur, sederhana, bijaksana, simpati, empati dan serupanya. 

Semoga para politisi segera bertaubat dari laku yang tak pantas, sehingga pantas sekaligus cekatan dalam menghadapi pertarungan politik pada Pilpres 14 Februari 2024 dan Pileg 27 November 2024 nanti; dan publik (pemilih) juga semakin bermartabat dalam menentukan sikap dan pilihan politiknya, misalnya, Capres, Caleg atau Parpol mana saja yang layak dicoblos atau dipilih nanti. (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir. Penulis Buku "Membaca Politik Dari Titik Nol". Tulisan ini dimuat pada Koran Radar Cirebon edisi Jumat 24 Juni 2022. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Alasan Memilih Muhamad Salahudin Pada Pileg 2024

Mengenang Mama Tua, Ine Jebia

Jadilah Relawan Politik Tanpa Mahar!