PILPRES 2024 DAN KEPEMIMPINAN TRANSFORMATIF


PEMILIHAN Umum (Pemilu) terutama pemilhan presiden (Pilpres) adalah momentum bagi kita sebagai pemilih untuk memilih atau menentukan siapa yang akan memimpin kita kelak. Dalam konteks Pilpres, secara khusus akan kita jadikan sebagai momentum untuk memilih atau menentukan siapa yang akan memimpin negara ini kelak. Dipahami bahwa "leader is a dealer in hope". Seorang pemimpin adalah penjual sekaligus pembeli harapan, demikian petuah Napoleon Bonaparte. 

Pemimpin ideal pastilah seseorang yang memiliki karakter yang kuat, punya visi yang mengakar pada kehendak publik, menjadi inspirator dalam setiap situasi, dan mesti mampu memberi harapan meyakinkan di tengah kesulitan yang mendera bangsa ini. Winston Churchill dan Franklin D. Roosevelt mungkin bukan sosok terbesar dalam sejarah. Namun, keduanya adalah figur yang mampu menginspirasi rakyatnya di masa paling sulit yang harus dilalui bangsanya. Chrucill membawa Inggris melewati ganasnya Perang Dunia II, sedangkan Rosevelt menjadi orang nomor satu di Amerika Serikat ketika Depresi Besar sedang melanda negaranya. Rosevelt berhasil menyuntikkan harapan kala harapan menjadi satu-satunya yang tersisa dari bangsanya. 

Mohammad Hatta (Bung Hatta), Mohammad Natsir (Pak Natsir), Soekarno (Bung Karno), dan para tokoh besar lainnya adalah sosok-sosok yang mampu memimpin, bukan saja dalam konteks struktur negara tapi juga dalam geo-psikologis masyarakat (rakyat) secara umum. Mereka mampu mengalahkan ego personal demi melompat jauh menjadi pemimpin yang inspiratif, menggelorakan juga membanggakan rakyatnya. 

Para pemimpin tersebut, terutama ketiga nama yang disebutkan, adalah model pemimpin negeri ini yang unik. Ekspetasi publik kepada mereka pun bukan mengalir di saat mereka memimpin saja, tapi juga pasca mereka memimpin bahkan hingga kini di saat mereka telah tiada. Mereka pun mampu menjadi pemimpin yang terkenang sepanjang sejarah republik hingga kini. Sebagai pemimpin yang transformatif, mereka mampu menapak peran kepemimpinannya dengan sungguh-sungguh, penuh dedikasi dan menyimpan banyak warisan berharga. 

Pemimpin adalah satu nama untuk mereka yang tak sibuk dengan janji dan tidak peduli dengan citra diri, karena mereka hanya sibuk membuat pekerjaan dan mengerjakan pekerjaan tersebut, sehingga mereka tercitra sebagai pemimpin yang layak diteladani. Tanpa media massa yang begitu masif mengenalkan mereka ke ruang publik pun, para pemimpin itu tetap saja dikenal dan dikenang oleh sejarah bangsa, termasuk oleh nurani rakyat. 

Dalam studi kepemimpinan, politisi-negarawan pasti menerapkan model kepemimpinan tranformasional yang memiliki visi yang kuat dan memasa depan. Pemimpin model ini tidak mudah tersuluh dalam kubangan politik transaksional dengan berbagai jargon ilutif yang bisa jadi hanya branding di media massa demi meraup suara tanpa kejelasan arah. Pemimpin (politisi-negarawan) akan menerapkan model kepemimpinan transformasional dalam memimpin, baik dalam skala individu maupun organisasi (Tichy dan Devanna, 1993). 

Bass dan Avolio (1994), dalam buku “Improving Organizational Efectiveness Through Transformasional Leadership”, kepemimpinan transformasional dicirikan oleh The four Is, kepemimpinan transformasional dicirikan oleh The Four Is (empat huruf I).  Pertama, idealized influence, rakyat dibuat berdecak kagum, hormat dan percaya. Tidak ada elemen publik (yang benar-benar sesuai nurani publik) yang menuduh pemimpinnya sedang melakukan kebohongan publik, termasuk dalam berbagai situasi politik. Autentisitas menjadi mantra yang membuatnya bersungguh-sungguh bekerja untuk kepentingan publik. 

Kedua, mampu menggelorakan inspirational motivation, menyuntikkan motivasi dan asa pada rakyatnya serta mampu merealisasikan harapan menjadi kenyataan. Ketiga, intellectual stimulation. Gaya kepemimpinan transformasional kaya akan ide-ide baru, gagasan-gagasan baru juga terobosan yang inspiratif. Sebab sang pemimpin sadar betul bahwa pemimpin adalah leader bukan dealer. Keempat, individualized consideration, yang mau mendengar keluhan bawahan, bersikap layaknya manusia, dan apa adanya. Dalam arti yang luas, pemimpin tidak membuat benteng pemisah dengan rakyatnya. Ia sadar bahwa diri dan yang dipimpinnya adalah orang bukan orang-orangan alias boneka atau budak.

Dalam konteks menjelang Pilpres 14 Februari 2024 mendatang kita memiliki banyak harapan. Pertama, para pemimpin segera berhenti berpuisi dan segeralah membuat prosa. Janganlah menjejali publik dengan bait-bait janji dan harapan atas nama pengalaman, rakyat, kemampuan, karakter, ketegasan, mentalitas dan serupanya yang dipidatokan di berbagai momentum dan panggung. Bagi publik, semua itu adalah puisi janji, padahal publik hanya butuh prosa naratif yang sangat mungkin mampu ditunaikan kelak. 

Memerintah itu pada dasarnya bagaikan membuat prosa yang diisi dengan narasi yang menguraikan sekaligus menuntaskan. Ketika pidato politik hanya menyentuh langit elite tapi tak menyentuh bumi publik, maka pidato tersebut pun segera masuk dalam kategori puisi janji. Padahal, memimpin Indonesia dengan berbagai permasalahan yang begitu rumit membutuhkan pemimpin yang memiliki kemampuan teknokrasi yang canggih dan kemampuan pemetaan masalah yang strategis, di samping kematangan yang ditopang oleh pengalaman menyelesaikan masalah-masalah yang nyaris tak terjangkau oleh para pemimpin yang sudah berlalu.  

Kedua, para pemimpin tak mudah menjual nama rakyat dengan berbusa-busa menyebar tema demi kepentingan rakyat yang justru menodai hak azasi dan harga diri rakyat. Bagi rakyat biasa sederhananya saja, pemimpin yang pro rakyat itu adalah pemimpin yang kebijakannya tidak mencekik hak dasar (azasi) rakyat dalam segala aspeknya, bukan yang berbusa-busa janji lalu ingkar janji. Mereka yang kerap disematkan sebagai pemimpin wong cilik namun zolim, pro oligarki dan menyiksa rakyat dengan kebijakan yang menambah kemiskinan sejatinya bukanlah pemimpin.    

Sungguh, kita tak butuh pemimpin yang ngasal”, ingkar janji dan budak oligarki, tapi kita butuh pemimpin yang autentik. Autentisitas berbicara tentang karakter yang merasuk ke dalam jiwa publik, kapasitas inspiratif, akuntabilitas, tidak korupsi, berintegritas, cerdas, visioner, merakyat, berpengalaman memimpin, setara dengan pemimpin global, dan tentu saja mampu mewujudkan janji politik dalam kehidupan publik ketika kelak memimpin. Semoga pada Pilpres 14 Februari 2024 nanti benar-benar terpilih pemimpin yang transformatif, bukan budak oligarki atau penipu yang kerap menyusahkan kita! (*)



* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Membaca Politik Dari Titik Nol". Tulisan ini dimuat dan bisa dibaca pada halaman 4 Kolom Wacana Koran Radar Cirebon edisi Jumat 17 Juni 2022.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Alasan Memilih Muhamad Salahudin Pada Pileg 2024

Mengenang Mama Tua, Ine Jebia

Jadilah Relawan Politik Tanpa Mahar!