Menanti Runtuhnya Rezim Oligarki


SEJARAH memang unik dan apik dalam mengisahkan penguasa zolim yang selalu berakhir dan mengalami kondisi tragis. Coba baca ulang sejarah mereka, kita bakal menemukan satu titik penting bahwa mereka adalah pemangsa rakyatnya sendiri. Mereka pun tumbang oleh tingkah mereka sendiri, atau oleh rakyat yang turun ke jalan lalu memaksa menurunkan para penguasa itu dari kursi kekuasaannya. 

Mungkin ada yang merasa bebas dan tak tersentuh hukum, namun bila rakyat sudah marah dan meluapkan kemarahannya di jalanan, maka itu pertanda sebuah negara tidak  baik-baik saja. Mungkin ada saja yang tidak tersentuh jeruji besi penjara, namun pada faktanya mereka benar-benar tumbang dan tidak mampu mengendalikan kembali kekuasaan yang pernah dikuasainya. Seorang teman pernah mengungkapkan begini, "Bila Firaun besar saja tumbang, apalah lagi Firaun kecil!"

Dalam banyak jejak, penguasa palsu memang kerap dicitrakan sebagai wong cilik tapi membohongi wong cilik, dicitrakan sebagai pembela rakyat tapi menipu rakyat. Rakyat dipaksa untuk percaya bahwa penguasa baik, padahal boneka oligarki yang bukan saja berbahaya bagi sejarah sebuah negara yang kaya raya tapi juga merusak masa kini dan masa depan generasi. Makanya di banyak negara rakyat kompak untuk melaksanakan tugas sejarah: tumbangkan rezim! 

Pada saat rakyat dicekik krisis ekonomi, penguasa sibuk membela dan mendukung selera pengusaha untuk menaikkan harga sembilan bahan pokok atau sembako. Pada saat rakyat kebingungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya esok hari, penguasa seperti juga para pejabat sibuk menaikkan gaji dan tunjangan dengan bermacam nama dan jenisnya. Pajak dan harga ini itu dipaksa untuk naik melalui aturan atau mekanisme legal, sehingga mereka benar-benar berpesta pada saat rakyat menderita. 

Naifnya, angka gaji dan tunjangan mereka sangat besar dan sangat melukai hati dan perasaan rakyat yang terpapar ekonomi kapitalistik yang diobral dan dipraktikkan oleh penguasa. Oligarki memang paket paling berbahaya bagi sebuah negeri yang kaya raya. Mereka menyatu dan berkelindan untuk menjajah rakyat dengan berbagai macam polesan dan manipulasi yang legal. Ditambah lagi dengan bisnis yang akrab dengan anggaran negara, sempurna sudah jejaring dan piramida oligarkinya!  

Pada saat rakyat menagih janji politik, penguasa malah sibuk menebar satire dan diksi yang menyakitkan. Rakyat tercekik oleh harga sembako yang semakin tak terkendali, penguasa malah berpesta ria dengan pamer kekayaan ke mana-mana dan di mana-mana. Malah ada yang tertawa riang lalu meminta rakyat agar menggoreng dengan air dan cukup makan dua pisang. Mereka sejatinya sama-sama gagal, bukan saja gagal memimpin tapi juga gagal mendengar jeritan pemilihnya sendiri. 

Bahkan yang paling naif, mereka yang menjilat ketiak penguasa malah sibuk mengobrol wacana menunda pemilu dengan alasan negara menghadapi kegoncangan ekonomi akibat pandemi. Pada saat yang sama mereka juga mengusulkan agar yang berkuasa melanjutkan kekuasaannya menjadi tiga periode. Pertanyaannya, bila demikian keadaannya, mengapa pindah ibukota negara dipaksa untuk segera? 

Hukum pun nampak tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Beberapa DPO kasus korupsi belum juga tertangkap. Konon ada yang akrab pada partai politik penguasa, yang memegang kunci kasus besar. Bila si rakyat kecil akan dengan mudahnya diburu dan diborgol, namun si calo partai politik itu masih saja berlenggang entah ke mana. Penegak hukum seperti tak bernyali untuk sekadar menangkap benalu itu. Atau apakah mereka satu paket dengan oligarki? 

Berbagai bidang kehidupan mengalami degradasi karena penguasa tak punya peta jalan dalam mengarahkan perbaikan. Berbagai lembaga survei malah diduga sibuk memamer angka yang membuat penguasa terus di atas angin: merasa dipercaya rakyat. Padahal rakyat tercekik oleh berbagai kebijakan yang tidak benar-benar pro rakyat. Lapangan kerja yang dijanjikan sekadar basa-basi politik. Janji politik di musim pemilu pun sekadar masturbasi janji. 

Pada kondisi demikian, rakyat dipaksa untuk bersabar. Bahkan tak sedikit mereka yang menjadi pawang politik atau penjilat dungu menjadi juru bicara dadakan lalu saban hari sibuk menyuruh rakyat dengan satu ayat: sabar! Padahal sabar adalah ayat agama yang pada sisi lain kerap mereka lecehkan dengan ungkapan jorok dan jijik: ini bukan negara agama. Mereka menggunakan diksi agama untuk membatasi daya kritis rakyat. Padahal mereka anti agama atau paling tidak kerap melecehkannya. 

Sejarah biasanya akan bercerita kembali. Bahwa berbagai kejadian sekian dekade silam bakal terulang. Mereka yang mempermainkan jabatan bakal tumbang, mereka yang sibuk memperkaya diri bakal tumbang, dan mereka yang pro oligarki bakal tumbang. Bila rakyat sudah mulai meluapkan kemarahannya maka itu pertanda negara tak baik-baik saja. Bila mahasiswa sudah mulai resah dan marah maka itu pertanda ada yang tidak beres pada kekuasaan. Mungkin ujungnya adalah runtuhnya rezim yang berkuasa alias oligarki yang menghegemoni. Semoga saja begitu! (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Membaca Politik Dari Titik Nol" 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Alasan Memilih Muhamad Salahudin Pada Pileg 2024

Mengenang Mama Tua, Ine Jebia

Jadilah Relawan Politik Tanpa Mahar!