Semua Orang pun Bisa Menulis



JUDUL di atas sebetulnya saya culik secara sengaja dari pernyataan seorang peserta ketika saya diundang menjadi narasumber acara Bedah Buku saya "The Power of Motivation"  dan Workshop Kepenulisan pada acara KISI EXPO di Universitas Siliwangi (Unsil), Tasikmalaya-Jawa Barat 22 April 2012 lalu. 

***

Ya, betul sekali, semua orang pada dasarnya bisa menulis. Kok bisa, bagaimana caranya Tenang aja, saya akan buktikan kepada Anda. Kalau tak percaya juga, silakan ambil kertas dan bulpen, lalu menulis-lah sekarang juga. Menulis apa saja sesuka Anda aja. Ya, tak perlu pakai teori ini dan prosedur itu segala, pokoknya menulis semaunya Anda aja deh. Sekarang, bukan nanti! 


Sambil menanti hasil tulisan Anda, berikut saya berbagi sejenak seputar alasan mengapa setiap orang sejatinya dapat menulis. Pertama, Hampir semua orang punya jari tangan. Ya, hampir semua orang punya jari tangan. Memiliki dua jari saja, sudah cukup menjadi alasan kuat bagi Anda untuk menulis. Apalagi punya tangan, punya dua tangan itu lebih beralasan lagi.

Anda tentu pernah mendengar cerita tentang Gola Gong, Fitri Nugrahaningrum, Ratna Indraswari Ibrahim (Ratna), Hellen Adam Keller, Howard Engel dan Louis Braile, atau beberapa penulis ternama yang punya karya fenomenal padahal mereka bisa dibilang tak sempurna secara fisik. Ratna sendiri, misalnya, tangan dan kakinya tak berfungsi, tapi karya tulisanya cukup banyak. Baik novel, buku populer-umum, novel, antologi cerpen dan sebagainya. Ia pun kerap diundang sebagai pembicara di beberapa negara, termasuk ke Amerika dan Eropa. 

Sedangkan Gola Gong, ia dikarunia hanya satu tangan. Tapi siapa yang tak mengenal Gola Gong juga karya-karyanya dalam dunia dan perkembangan literasi di Indonesia? Hampir semua penulis Indonesia mengenal nama Gola Gong juga karya-karyanya. Seperti Balada Si Roy, Aku Anak Matahari, Langit Merah Saga, Musafir dan masih banyak lagi.  

Begitu juga inspirator lain. Bahkan, jangan tanya mereka punya berapa jari tangan, tangan saja tak punya. Kaki pun mereka tak punya. Sepintas, mereka sangat terbatas. Lalu, apakah dalam kondisi tak memiliki tangan semacam itu menyebabkan mereka tak mampu menghasilkan karya tulis; atau apakah keterbatasan semacam itu mereka jadikan sebagai penyebab atau alasan untuk tidak menulis?


Eh ternyata tidak. Ya sama sekali tidak. Keterbatasan fisik, justru menjadi sumber inspirasi dan energi tersendiri bagi mereka untuk menghasilkan karya tulis : novel, buku, cerpen, essai, artikel dan sebagainya. Nah, jika mereka yang tidak memiliki tangan dan atau jari tangan saja mampu menulis, menghasilkan karya tulis; apakah Anda yang memiliki tangan dan jari tangan masih saja memperbanyak alasan untuk tidak menulis? 

Lalu, mengapa Anda tidak berubah haluan, misalnya, keterbatasan fisik justru Anda jadikan alasan mendasar untuk menulis; menghasilkan karya tulis yang bisa dibaca oleh banyak orang di luar sana, terutama untuk orang-orang yang Anda cintai seperti orangtua, mertua, kakek, nenek, suami, istri, anak, saudara dan keluarga besar Anda?  

Kedua, Tak berjari, gigi pun bisa! Kedengarannya aneh ya? Ya, tak sedikit orang yang punya semangat yang luar biasa: tak memiliki tangan atau jari tangan tak membuat mereka kalah atau patah semangat. Karena tekad dan kemauannya begitu kuat, akhirnya gigi pun mereka pakai untuk menulis sehingga menghasilkan karya tulis yang patut dibaca.

Bagi saya, pesan penting pernyataan di atas sebetulnya sederhana: bahwa dalam kondisi terbatas sekalipun pun seseorang sejatinya selalu memiliki alasan untuk bisa menulis. Maknanya, dalam kondisi demikian, seseorang tak punya alasan untuk tidak menulis. Nah, kalau tak memiliki tangan saja tidak punya alasan untuk tidak menulis, tentu saya dan Anda yang memiliki tangan lebih dan sangat tidak pantas membuat alasan untuk tidak menulis.

Justru seharusnya dengan memiliki tangan yang lengkap seperti yang saya dan Anda miliki sekarang ini merupakan alasan paling kuat bagi saya dan Anda untuk mau dan mampu menulis hingga menghadirkan karya terbaik dan patut dibaca oleh siapapun di luar sana. Cara gilanya, kalau Anda tidak memiliki ide, maka Anda bisa membuat tulisan singkat tentang kelemahan atau kekurangan Anda seputar ide yang hendak Anda tulis atau ide kepenulisan lainnya.

Misal, Anda kehabisan ide. Ya, silakan menulis tentang apa saja alasan (penyebab) alias biang, atau mengapa Anda kehabisan ide. Atau Anda juga bisa menulis tentang bagaimana cara atau langkah-langkah menghadirkan ide-ide baru. Ayo, apalagi yang Anda jadikan sebagai alasan hingga sampai saat ini masih belum punya karya tulis? Tulis alasan-alasan tersebut, maka itu bisa menjadi tulisan yang bermanfaat. Itu dapat dijadikan sebagai sarana latihan. 

Sekali lagi, bagi mereka yang keterbatasan fisik memahami bahwa keterbatasan adalah tempat bersandar untuk menatap masa depan yang lebih cerah, termasuk dengan cara menulis atau menghadirkan karya tulis yang bermanfaat bagi kehidupan dirinya dan bagi kemanusiaan. Lalu, apakah Anda masih menjadikan keterbatasan fisik sebagai alasan sehingga Anda tak segera menulis atau menghasilkan karya tulis, sementara orang lain sudah menghasilkan karya tulis?

Atau apakah kondisi ekonomi dan status sosial Anda yang apa adanya membuat Anda tak bisa menulis? Simpan pikiran semacam itu, sekarang juga! Sungguh, Anda memiliki peluang besar untuk menulis dan menghasilkan karya terbaik. Berbagai media sebagai sumber informasi begitu gratis mendatangi bahkan sudah membersamai Anda. Coba saja!

Ketiga, Kehidupan ini kaya makna dan pesan. Sungguh dalam pesan ungkapan Bambang Trim berikut ini: Menemukan makna, mengikatnya, mengurainya; lalu mengemas kembali untuk membagi-bagikannya. Penulis adalah para pejuang makna, yang betul-betul memahami makna. 

Caryn Mirriam dalam bukunya Daripada Bete, Nulis Aja! mengatakan, "Menulis juga membuatmu mengungkapkan perasaan yang sesungguhnya dan memahami diri dengan lebih baik. Terutama, ia dapat membuatmu merasa lebih hidup."

Jika Anda masih beranggapan bahwa Anda tak memiliki ide menulis atau ide yang layak dituliskan, maka Anda sangat perlu untuk memaknai : melihat dan memahami diri Anda sendiri, lalu mengemasnya dalam bentuk tulisan.

Coba tanya pada diri Anda sendiri : siapa gerangan yang menciptakan kepala, hidung, telinga, mata, tangan, kaki, dan sebagainya? Atau jikalau salah satu di antara anggota tubuh Anda diambil kembali oleh Sang Kuasa, apakah Anda mampu atau bersedia menjalani kehidupan selanjutnya?

Apapun jawaban Anda, silakan ditulis. Bisa jadi apa yang Anda tulis kelak bermanfaat dan menginspirasi banyak orang di luar sana dalam menjalani kehidupan ini, minimal agar mereka pandai bersyukur dan tidak cengeng dalam menjalani kehidupan yang dipenuhi berbagai tantangan, cobaan dan ujian.

Jadi, dalam diri Anda sendiri sebetulnya sangat banyak hal yang dapat Anda jadikan sebagai sumber inspirasi dan ide menulis. Tema dan judulnya bebas sesuai selera Anda, sesuka hati Anda aja. Kalau seputar penciptaan Allah seperti tubuh Anda, misalnya, temanya adalah syukur, judulnya: Kiat Mensyukuri Anugerah Allah; atau semaunya Anda aja deh.

Atau bisa juga tentang nikmatnya mendapat anugerah mulut sehingga Anda bisa bicara, anugerah mata sehingga Anda bisa melihat, nikmat mata sehingga Anda bisa melihat, nikmat telinga sehingga Anda bisa mendengar, nikmat akal sehingga Anda bisa berpikir, nikmat hati (qalbu) sehingga Anda bisa merenung dan begitu seterusnya. Jadi, silakan menulis tentang berbagai macam nikmat Allah yang ada dalam diri Anda. Sungguh, jika Anda memulai maka akan banyak inspirasi baru yang akan membuat Anda ketagihan untuk menulis.

Kelima, Menulis bukan profesi! Nah, ini yang lebih penting dan lebih seksi. Kok bisa? Ya, mungkin Anda masih terjebak dalam satu pandangan bahwa menulis adalah profesi, bahwa menjadi penulis itu adalah satu jenis profesi. Tak salah memang, namun percayalah bahwa tanpa berprofesi sebagai penulis pun sejatinya Anda bisa saja menulis: menghasilkan karya tulis. Ya, sebagai apapun Anda, pada dasarnya Anda bisa menulis. Bukan kah sejak kecil Anda sudah belajar menulis?

Kemudian faktanya, ada guru yang menulis, ada dosen yang menulis, ada presiden yang menulis, ada menteri yang menulis, ada kiai yang menulis, ada pengusaha yang menulis, ada politisi yang menulis, ada musisi yang menulis dan ada wartawan yang menulis. Bukan itu saja. Bahkan ada sopir yang menulis, ada tukang becak yang menulis, ada penyanyi yang menulis, ada artis yang menulis, ada seniman yang menulis, ada sastrawan yang menulis, ada pelawak yang menulis, ada anak kecil yang menulis, dan ada pengamen yang menulis.

Dan pokoknya banyak sekali karya tulis yang justru lahir dari beragam profesi selain sebagai penulis, atau tak dikenal sebagai penulis namun memiliki karya tulis yang dinikmati oleh banyak pembaca. Dari kenyataan di atas saya termasuk yang semakin percaya dan memahami bahwa menulis atau menjadi penulis itu pada dasarnya tidak selalu profesi. Sebab sebagai apapun, seseorang sejatinya dapat menulis, dapat menghadirkan karya tulis.

Keenam, Menulis sebagai kebutuhan. Ya, selebihnya, menulis itu adalah kebutuhan. Dengan menulis, apa yang terpendam dalam pikiran Anda menjadi tersalurkan. 

Menabung gagasan dalam otak dalam waktu lama akan menjadi beban tersendiri. Karena itu, Anda butuh saluran tempat gagasan Anda berlabuh. Ya, pada kondisi demikian bagi Anda, menulis adalah kebutuhan mendesak. Iya apa iya? 

Ketujuh, menulis sebagai obat. Ya, ini yang agak ajaib dan mungkin tak biasa. Saya sendiri membuktikan bahwa di saat sakit justru saat yang baik seseorang untuk menulis. Saya, misalnya, jika dirundung sakit, saya berupaya untuk menulis dan menulis. Alhamdulillah, tanpa menanti waktu yang cukup lama, saya pun sembuh alias sehat. Tulisan ini juga sebetulnya saya tulis di saat saya lagi kurang sehat. Jadi, jika Anda butuh hidup sehat, maka jalan yang patut Anda tempuhselain pola hidup sehatadalah menulis dan menulis.

Nah, itu hanya sebagian argumentasi mengapa saya berani mengatakan bahwa setiap orang sejatinya bisa menulis, apapun profesi dan seperti apapun kondisinya. Kini kembali kepada niat Anda. Kata Jay Krhesna, "Niat itu tidak terletak di lidah, namun bersemayam di dalam lubuk hati yang paling dalam. Setiap diri-lah yang paling mengetahui apa yang hendak diwujudkannya."

Akhirnya, mengutip ungkapan editor ternama Bambang Trim, "Kemampuan menulis bukan lahir dari bakat, tetapi karena diciptakan." Artinya, tidak ada seorang pun yang dilahirkan sebagai penulis. Akan tetapi, seorang tercipta sebagai penulis karena ia diberi peluang dan stimulus untuk belajar, berlatih dan berkembang. (*)


Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Kalo Cinta, Nikah Aja!" dan "Indahnya Islam Di Indonesia" 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Alasan Memilih Muhamad Salahudin Pada Pileg 2024

Mengenang Mama Tua, Ine Jebia

Jadilah Relawan Politik Tanpa Mahar!