Mengenang Kakek Jatong, Sesepuh Cereng Era 1930-1980-an


NAMANYA tergolong unik, Bapak Jatong. Akrab juga disapa Tae Tegong oleh cucu-cucunya. Beliau merupakan Kakek saya atau Bapak dari Bapak saya. Nama istrinya adalah Seria, kerap saya sapa Nenek atau dalam Bahasa Manggarai-NTT, Tae. Dari pernikahan dengan Nenek ini Kakek dikarunia 6 orang anak. 3 laki-laki (Abdul Tahami, Abdullah Malik dan Hamnu) dan 3 perempuan (Setima, Hatima, Haisa).  

Kakek sendiri lahir sekitar tahun 1877 dan meninggal pada tahun 1987 akhir di Cereng. Cereng merupakan salah satu kampung di Manggarai Barat-NTT. Tepatnya di Desa Golo Sengang, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat yang kala itu masih merupakan bagian dari Desa Golo Manting, Perwakilan Kecamatan Komodo, Kabupaten Mangarai. 

Ketika beliau meninggal, saya baru berusia 4 tahun. Saya masih ingat kala itu badan beliau sedikit demam dan tak lama kemudian meninggal dunia. Dan, ketika itu saya ada di dekat beliau. Karena memang saya termasuk sering tidur dengan beliau. Kala itu Bapak saya (Bapak Abdul Tahami) yang meninggal pada 26 Oktober 2020 lalu, sedang ada kegiatan musyawarah kampung. 

Untuk urusan makan, kakek paling suka makan nasi beras merah, sayur terong, kacang-kacangan, daun pepaya, daun ubi, dan masih banyak lagi. Beliau juga suka makan jagung, talas dan ubi-ubian. Untuk buah-buahan Kakek suka pepaya, pisang, nanas, sirsak, kelapa dan masih banyak lagi. Terus beliau juga suka makan daging kerbau dan rusa yang biasanya diperoleh dari hasil perburuan di hutan dan tanah lapang yang agak jauh dari kampung. 

Seingat saya, Kakek termasuk tetua yang sangat dihormati dan disegani di kampung. Ada begitu banyak tamu yang sering berkunjung dan berbicara dengan beliau. Temanya banyak dan beragam, dari adat dan budaya hingga sejarah dan pertanian. Di samping obrolan harian khas orang kampung. Tentang sawah dan ladang atau kebun. Tentang kemiri, jambu, kelapa, nanas, sirsak, ubi, jagung, padi, dan masih banyak lagi. 

Walau tak begitu paham seluruh perbincangan beliau dengan para tamunya, namun seingat saya perbincangannya ada yang serius dan ada juga yang santai. Menurut cerita sebagian tetua generasi setelah beliau, Kakek termasuk sesepuh yang pembicaraan dan kata-katanya didengar. Selain karena termasuk yang berusia tua, beliau juga memang memiliki banyak petuah yang sangat dinanti oleh banyak kalangan.

Masih menurut cerita para tetua yang saya dengar di kala saya SD tahun 1990-1996, Kakek adalah sosok yang kerap ditanya tentang banyak hal. Bila ada masalah keluarga dan kampung yang perlu penyelesaian, maka Kakeklah tempat orang datang dan bertanya. Bahkan orang di luar kampung juga kerap datang berkunjung atau silaturahim ke beliau untuk berbagi cerita dan menemukan solusi atas berbagai permasalahan mereka.

Uniknya, para tamunya kadang istirahat atau bermalam di rumah. Perbincangan pun bukan satu tema tapi banyak tema. Salah satu yang lama diperbincangkan adalah sejarah para leluhur dan tentang tanah ulayat yang belakangan ini hampir-hampir jarang diperbincangkan oleh para tetua dan generasi muda. Kakek, dengan daya dan nalarnya, begitu apik menceritakan setiap tema yang menjadi perbincangan.

Kakek pun dikenal sebagai sosok yang bijaksana, cerdas, disiplin, ulet dan berwawasan luas serta akrab dengan semua kalangan. Jiwa kepemimpinannya sangat terasa dan memang dirasakan oleh semua kalangan pada zamannya. Padahal beliau tidak pernah menempu pendidikan formal, namun beliau tergolong sosok pendidik yang sukses di keluarga dan bagi masyarakat kampung. 

Sikap bijaksana, kecerdasan dan kedisiplinan termasuk keuletan juga wawasannya yang luas,  juga keakrabannya dengan semua kalangan terwariskan pada semua anaknya kelak. Bapak saya, misalnya, benar-benar mewarisi karakter dan keunikan Kakek. Bila Kakek dulu didengar dan menjadi tempat orang bertanya, Bapak saya yang merupakan anak kedua beliau juga didengar dan menjadi tempat orang bertanya. 

Selain mendapatkan didikan dan tempaan langsung dari Kakek, Bapak saya juga menempuh pendidikan formal dari SD dan SMP hingga SMA. Seingat saya, menurut cerita dari Bapak saya ketika masih hidup, Bapak menamatkan SMA pada tahun 1967. Kala itu, bila ada yang selesai atau menamatkan SMA itu tergolong hebat dan dianggap berpendidikan tinggi. Setelah tamat SMA, Bapak menjadi Guru di SDK Naga, Desa Mata Wae, hingga sekitar tahun 1975. 

Hal itu sangat wajar, sebab seingat saya dan menurut cerita para tetua di kampung baik dulu maupun saat ini, Bapak saya adalah salah dari dua atau tiga warga di kampung yang bisa melanjutkan pendidikan hingga lulus SMA. Selain itu, sepengetahuan saya sesuai cerita para tetua, kala itu sebagian orang hanya bisa menempuh SMP atau bahkan SR atau belakangan SD. Itu pun sebagiannya tidak menggapai lulus. 

Selain Bapak saya, yang sukses menamatkan pendidikan SMA adalah paman saya atau anak dari adik Nenek saya atau anak dari Bibinya Bapak saya. Namanya Bapak Abdullah Sehami yang kini sudah meraih gelar Doktor dan menjadi akademisi di UHAMKA Jakarta. Kemudian paman saya sendiri atau adik kandung Bapak saya, Ir. Abdullah Malik yang kini membangun perusahaan di Kota Bandung-Jawa Barat. Masing-masing keduanya kini menjadi warga DKI Jakarta dan Jawa Barat. Sementara saya menjadi warga Jawa Barat. 

Belakangan Bapak saya pun kerap mendapatkan amanah masyarakat untuk menjadi Kepala Dusun Cereng dan Ketua LKMD Desa Golo Manting. Belakangan Bapak saya pun diberi amanah sebagai Kepala Desa Persiapan untuk Desa Golo Sengang. Kemudian beberapa waktu berikutnya terpilih secara definitif sebagai Kepala Desa Golo Sengang sehingga beberapa tahun menjelang beliau meninggal dunia.

Nilai dan prinsip hidup, serta karakter juga segala hal yang menjadi keunggulan Kakek di kala hidup bukan saja terwariskan pada Bapak dan anak-anaknya yang lain, tapi juga pada saya dan cucu juga cicit beliau. Walau tak mampu mencontoh secara sempurna, saya dan keturunan beliau akan berusaha untuk mengikuti jejak beliau yang didengar kata-katanya dan menjadi panutan yang baik bagi keluarga juga masyarakat. 

Entah siapa diantara keturunan beliau yang kelak benar-benar mampu meneladani dan mewarisi seluruh potensi dan keunggulan beliau, itu biarkan waktu dan sejarah yang mengulas kembali. Kakek dengan segala kelebihannya tentu memiliki kekurangan yang tak perlu diungkap, sebab setiap manusia pasti memiliki kekurangan dan kelemahan. Semangat menjadi pembelajar, menjadi pembawa kedamaian, menjadi pembawa kesejukan dan penenun kebersamaan adalah nilai penting dari Kakek yang perlu dilanjutkan oleh keturunannya.  

Dalam konteks masa depan, hal penting lain yang perlu dilakukan oleh keturunan Kakek yang kini sudah ratusan orang dan menyebar di berbagai tempat di Manggarai Barat-NTT bahkan di Pulau Jawa seperti Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan sebagainya, adalah meneladani dan mewarisi kebaikan-kebaikan beliau. Bukan saja kebijaksanaan, kecerdasan, kedisiplinan, keuletan dan wawasannya yang luas tapi juga kerakraban dengan semua orang dan jiwa kepemimpinannya. Dan satu hal yang paling sulit namun perlu diwariskan lagi adalah pembicaraannya yang selalu berisi dan merasuk ke dalam hati atau jiwa pendengarnya. Terima kasih Kakek, semoga Allah menyediakan bagimu surga terbaik! (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Kalo Cinta, Nikah Aja!" 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Alasan Memilih Muhamad Salahudin Pada Pileg 2024

Mengenang Mama Tua, Ine Jebia

Jadilah Relawan Politik Tanpa Mahar!