Menggembirakan Masa Pandemi dengan Membaca Buku


MASA pandemi adalah masa-masa yang menjemukan dan menjenuhkan. Walau demikian, kita tak boleh kalah dan lelah oleh keadaan. Kita perlu mensiasati agar kita semakin produktif dan mampu mengisinya dengan hal-hal yang bermanfaat. Disiplin menjaga protokol kesehatan atau prokes adalah ikhtiar yang wajar. Termasuk bila memilih beraktivitas di rumah, untuk menghindari dampak Covid-19, itu adalah ikhtiar yang juga wajar. 

Pada kondisi demikian, terutama ketika pemerintah telah menetapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Jawa-Bali pada 3 hingga 20 Juli 2021 untuk menekan laju penularan Virus Corona (Covid-19), maka kita pun perlu mengambil sikap. Sikap yang paling sederhana adalah mengikuti aturan yang ada, termasuk dengan bekerja juga beraktivitas di rumah. Di sela-sela itu, salah satu yang dapat kita lakukan adalah membaca buku. Terlihat sederhana tapi sangat bermanfaat. 

Sebagai pemantik, belakangan ini diskusi mengenai teori generasi tengah berkembang menjadi “bola salju” yang bergulir liar. Salah satu narasi yang berkembang di berbagai media adalah penafsiran tentang generasi yang bak membaca ramalan horoskop. Sebagai contoh, seseorang yang lahir pada tahun 1981 hingga awal tahun 2000 dianggap sebagai Generasi Milenial, yaitu generasi yang memiliki karakteristik kreatif-inovatif, berorientasi sosial tinggi, menyukai nilai-nilai kebebasan, dan senang dengan segala sesuatu yang bersifat instan. 

Pertanyaannya, benarkah demikian? Untuk menjawab pertanyaan tersebut ada banyak buku yang layak kita baca. Diantaranya dua buku baru, yaitu buku berjudul "Generasi Phi, Generasi Milenial Pengubah Indonesia” (244 halaman) dan "Generasi Kembali Ke Akar, Upaya Generasi Muda Meneruskan Imajinasi Indonesia" (266 halaman) karya kreatif Dr. Muhamad Faisal. Kedua buku ini adalah hasil riset etnografi penulisnya mengenai generasi muda di Indonesia beberapa tahun terakhir. Penulis menarasikan teori generasi yang berbeda dengan teori Barat. Umumnya Barat melakukan pemilahan generasi menggunakan klasifikasi seperti Gen Baby Boomers, Gen X, Gen Y dan Gen Z. 

Sosok yang lahir pada 13 Januari 1981 silam ini mengklasifikasi geberasi muda Indonesia menjadi Gen Alfa, Gen Beta, Gen Omega, Gen Phi dan Gen Neo-Alfa.  Menurut penulisnya, pengklasifikasian ini sesuai dengan kultur Indonesia yang berbeda dengan barat. Uniknya penulis menggunakan pendekatan sejarah untuk menguraikan pengelompokan generasi ini. Tesisnya, bahwa akan terjadi pengulangan karakter generasi penerus dengan generasi sebelumnya. Artinya dalam periode tertentu terjadi pengulangan karakter seperti yang telah terjadi pada masa lampau. 

Menurut penulis yang juga pendiri Youth Laboratory Indonesia ini, Gen Neo-Alfa akan memiliki karakter dengan Gen Alfa atau para pendiri bangsa, memiliki spirit ideologis, religius, nasionalis dan komunal. Karakter ini pernah dipraksiskan secara jenial oleh generasi Haji Omar Said Cokroaminoto (Pak Umar Said), KH. Agus Salim (Kiai Agus Salim), Soekarno (Bung Karno), Mohammad Hatta (Bung Hatta), Sjahrir (Pak Sjahrir), Mohammad Natsir (Pak Matsir) dan masih banyak lagi. 

Prediksi itu terbukti, akhir-akhir ini para generasi Neo-Alfa sangat ideologis ketika melihat berbagai isu sosial dan politik yang terjadi. Dalam takaran tertentu juga memiliki sipit religiusitas tinggi, yang bisa dibuktikan dengan gejala keagamaan fenomena "Hijrah" di Gen Muslim Indonesia. Walau dengan beberapa catatan kaki atau kritik dari sebagian kalangan. Keragaman pandangan tentang mereka tentu hal yang sangat wajar. Justru sangat baik bila dipahami sebagai kekayaan bangsa kita.  

Dan, uniknya meski revolusi digital mencapai puncaknya, gejala individualisme tidak menjangkiti generasi muda. Mereka justru sangat komunal, dengan aktif melakukan kegiatan bersama bahkan berbaur dengan masyarakat luas. Kosa kata yang akrab dengan mereka adalah nongkrong, kongkow, ngopi dan kopdar. Dan mereka juga melakukan lompatan kreatifitas yang semakin menarik dan kompetitif. Bukan saja dalam bidang entrepreneur dan sosial, tapi juga dalam penulisan buku dan sebagainya. Mereka bebas berkolaborasi dalam banyak hal namun tetap dalam bingkai nilai kekinian dan keluhuran. 

Gejala Gen Neo-Alfa mirip dengan kebiasaan para pendiri bangsa kita yakni terkenal sangat ideologis dan komunal. Silahkan tengok kembali kebiasaan diskusi politik Haji Agus Salim, Bung Karno, Bung Hatta, Pak Sjahrir, Pak Natsir dan tokoh lainnya yang mengkinstruksi berbagai ide dan kursus politik bersama para pemuda. Mereka melingkar untuk melakukan aktifitas diskusi politik ideologis. Ya, tentu karakteristik semacam ini mengalami adaptasi di era revolusi digital, tetapi secara substansial bisa dikatakan sama. 

Saya menyaksikan kedua buku tersebut sangat menarik, optimistis dan futuristik. Sebab keduanya benar-benar saling melengkapi dan menguatkan substansi pembahasan. Buku "Generasi Kembali ke Akar", misalnya, terlihat  mengafirmasi buku pertama dalam mengurai tentang hasil riset atau penelitian seputar peran pemuda Indonesia sejak dahulu kala. Hasil riset menjelaskan bahwa pada saatnya nanti generasi muda akan membawa negeri ini ke kejayaan cemerlang. Indonesia pun bakal jaya! 

Melalui buku ini pula, penulisnya mengajak kita untuk memahami sebuah tren bisa terbentuk, berbagai faktor yang menciptakan pola perilaku khas dari setiap generasinya, dan prediksi tentang arah generasi-generasi berikutnya. Kalau pembaca termasu generasi Phi atau mencintai generasi Phi, maka membaca kedua buku ini seperti sedang mempelajari diri sendiri dan orang-orang yang dicinta. Kita jadi lebih bisa memahami diri sendiri dan bakal terbantu untuk membuat pilihan-pilihan hidup yang lebih baik di era modern ini.

Kedua buku ini berisi banyak data dan informasi lainnya mengenai generasi muda Indonesia dalam beragam perspektif. Pembaca akan disuguhkan analisis cerdas nan kaya, sehingga masa pandemi ini lebih peroduktif dan mampu meningkatkan kualitas pengetahuan. Kedua buku ini pun semakin layak menemani kita dan kekuarga di rumah saat ini. Ya pada saat kita "dipaksa" secara sosial untuk berdiam di rumah gegara bencana non alam: Covid-19 yang hingga kini masih mengganggu keasyikan kita dalam berbangsa dan bernegara, kita perlu banyak membaca buku. Tentu diawali dengan membeli bukunya, baik kedua buku di atas maupun buku-buku lainnya. 

Di atas segalanya, dengan tetap disiplin menjaga protokol kesehatan, banyak membaca buku dan aktif merenung serta mengakrabkan diri dengan Allah, insyaa Allah kondisi semacam ini bahkan Virus Corona segera pergi atau menghilang dari bumi pertiwi. Kita mesti percaya dan optimis bahwa masa pandemi bakal berakhir pada waktu dekat atau tak lama lagi. Allah Maha Mendengar dan Maha Tahu apa hajat kita dan apa yang kita panjatkan. Di atas segalanya, di tengah kondisi demikian, mari menggembiarakan dengan banyak bercumbu atau membaca buku! (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Indahnya Islam Di Indonesia" dan "Kalo Cinta, Nikah Aja!" 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Alasan Memilih Muhamad Salahudin Pada Pileg 2024

Mengenang Mama Tua, Ine Jebia

Jadilah Relawan Politik Tanpa Mahar!