SAWAH, KAMBING DAN MASA LALU YANG KAYA KENANGAN


Alhamdulillah hari ini Sabtu 27 Februari 2021 saya bisa jalan-jalan ke sawah lagi. Bukan ke sawah milik sendiri, tapi ke sawah milik tetangga dekat kompleks perumahan. Tempatnya di sebelah timur kompleks perumahan Arumsari, Talun, Kabupaten Cirebon, yang berbatasan dengan Harjamukti, Kota Cirebon. Sudah berapa kali saya ke tempat ini, terhitung sejak tiga pekan lalu. Untuk beberapa kali saya datang bersama istri saya Eni Suhaeni dan anak kami Azka Syakira, Bukhari Muhtadin dan Aisyah Humaira, sisanya saya datang sendiri. Kadang menggunakan kendaraan dan kadang berjalan kaki, bahkan juga sambil lari. 

Diakui bahwa dampak bencana non alam: Covid-19 memang menyasar ke berbagai aspek kehidupan. Bukan saja aspek kesehatan dan ekonomi, tapi juga aspek pendidikan dan sosial. Bahkan yang tak kalah hebatnya, dampak virus ini juga menyasar aspek mental dan psikologis kita. Tak sedikit yang depresi gegara susah menebak kehidupan ke depan dan terjebak pada pemikiran stagnan, yang membuat mereka tak bisa berpikir positif dan bahkan mati langkah dan tidak bisa melakukan apa-apa. 

Kondisi demikian diperparah lagi dengan tingkah sebagian pejabat publik yang malah terkesan acuh dan tak peduli pada masyarakat yang terkena dampak sosial virus ini. Bahkan mereka terlihat nyata melanggar aturan namun nyaris tak tersentuh hukum. Kerumunan masa yang dianggap sebagai bentuk pelanggaran aturan terutama protokol kesehatan malah dianggap sebagai hal biasa. Hal itu semakin menjadi-jadi karena alasan-alasan yang terlihat tidak rasional dan terkesan sangat norak. 

Kondisi demikian diperparah lagi oleh sebagian masyarakat yang acuh atau tak hirau dengan protokol kesehatan yang sudah ditentukan oleh mereka yang berwenang. Masyarakat malah menganggapnya sebagai lelucon dan tentu saja dilanggar dengan sengaja. Sebabnya sederhana, selain karena kehilangan kewarasan juga karena mereka atau pejabat publik yang mestinya menjadi teladan malah kerap melanggar aturan. Sederhananya, aturan seakan-akan dibuat hanya untuk warga biasa, sementara bagi pejabat publik aturan tak berlaku. Pidato ini itu pun hanya basa-basi tak bermutu. Terlihat wah padahal hanya manipulasi demi meraup citra baik. Tipuan semacam ini sudah terlihat berkali-kali, namun kerap ditutupi padahal terlihat begitu telanjang, karena semuanya memang hanya basa-basi. 

Padahal kalau mau jujur dan tegakkan aturan, mau diundang atau tidak, warga yang datang berkerumun dan pejabat publik yang membagi sesuatu di tempat kerumunan warga mesti ditindak. Jangan bermain-main dengan hukum, jangan perkosa protokol kesehatan demi selera pribadi dan kelompok. Penegak hukum mestinya bertindak tegas dan hukum mesti berdampak adil bagi seluruh warga negara. Tapi kalau sekadar alias ngasal, penegakan hukum pasti pilih-tebang. Bisa dipastikan nanti dampak buruk atau dampak negatifnya besar dan luas. Bukan saja semakin menipisnya kepercayaan publik kepada pejabat publik dan aturan yang berlaku tapi juga penyebaran virus yang bisa saja semakin tak terkendali. Semoga menjadi catatan berharga bagi siapapun yang masih punya kemaluan alias rasa malu!

Kembali pada sawah dan kambing, sebuah pemantik yang tepat perihal obrolan kali ini. Begini, saya adalah asli dan berasal kampung. Saya pun hidup masa kecil di kampung. Tepatnya kampung Cereng. Kampung yang belum tersentuh listrik PLN, air PDAM dan jalan raya beraspal ini berada di Desa Golo Sengang, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat-NTT. Walau memiliki potensi alam yang sangat kaya, termasuk objek wisata yang indah dan menarik, namun beberapa sudut daerah ini masih jauh dari pembangunan. 

Saya sendiri lahir pada 8 Agustus 1983. Dari pasangan Ayah dan Ibu saya, Bapak Abdul Tahami dan Ibu Siti Jemami. Saya anak keempat dari sembilan bersaudara. Sejak kecil hingga lulus Sekolah Dasar (SD) di Sekolah Dasar Katolik (SDK) Cereng pada 1996 saya sering bermain di kebun dan sawah. Terutama sejak masuk SD pada 1990 hingga lulus, saya kerap ke sawah membersamai kambing peliharaan keluarga. Jumlahnya tak sedikit, ada banyak. Seingat saya sekitar 50-an lebih. Bermain bersama kambing pun bisa dibilang aktivitas rutinan saya sehari-hari. 

Kala itu, sehari-sehari saya memberi kambing peliharaan berupa air minum dan makan yang cukup. Bila air diambil di kali atau tempat ada sumber air, maka makanan kambing di ambil dari rumput panjang dan dedaunan pohon tertentu yang kerap menjadi santapan kambing. Selain membiarkan kambing berjalan sendiri ke tanah lapang, saya juga membawa kambing ke kebun. Dan yang paling sering adalah membawa kambing ke sawah. 

Banyak hal yang saya peroleh selama berinteraksi dengan sawah dan kambing. Sebuah kenangan yang sangat berharga dan menjadi ingatan unik dalam kehidupan saya kini di tanah rantauan, Cirebon-Jawa Barat. Kalau disebut atau diceritakan satu persatu, mungkin bisa menjadi buku tebal. Diantara yang bisa saya sebutkan diantaranya, pertama, sawah begitu ikhlas membiarkan rumput di sekitarnya dimakan oleh kambing. Padahal kalau saja sawah tak ikhlas, bisa jadi puluhan kambing bakal diusir dan dikejar-kejar. 

Kedua, kambing begitu taat pada sang tua atau saya yang kini menemani mereka. Mungkin ada saja kambing yang membelot alias tidak taat aturan saya, namun secara umum mereka tergolong taat. Bila kambing besar atau yang tertua sudah saya bawa dan jalan maka kambing lain pun langsung jalan. Dan uniknya, jarang ada kambing yang memakan rerumput yang tidak dimakan oleh kambing paling depan. 

Sekali lagi, saya perlu mengucapkan syukur alhamdulillah karena saya masih bisa ke sawah, menyaksikan sawah tetangga yang terlihat indah. Pada saat santai di tempat peristirahat warga saya terlihat pemilik kambing sedang membersamai peliharaannya. Menyaksikan aktivitas mereka serasa nyaman dan mengingat kembali masa-masa kecil dulu. Ke sawah bersama puluhan kambing peliharaan. Bau badan seperti bau kambing itu sudah pasti, tapi suasananya khas dan alami. 

Ketulusan sawah untuk memberi dan tak ada harap balas jasa, lalu soliditas dan ketaatan kambing adalah sebuah potret sekaligus pembelajaran yang sangat berharga bagi saya dan kehidupan saya kelak. Bahwa apa pun yang kita miliki tak mesti kita sendiri yang nikmati. Ada baiknya kita berbagi bagi kepentingan orang lain di luar sana. Soliditas dan ketaatan kambing juga benar-benar sebuah pembelajaran penting. Betapa kambing yang dipimpin sangat tergantung pada kambing tua yang memimpin. Bila kambing tua atau yang di depan mencontoh yang baik maka kambing lain bakal mengikuti. Ini tentu bukan sekadar usia tua atau muda, tapi kematangan mental atau karakter. 

Kembali kepada permasalahan Covid-19, kita sepertinya perlu banyak belajar pada sawah dan kambing. Sebagai manusia kita tak boleh jaga citra atau jaga imeg pada kedua makhluk yang unik itu. Bila sawah begitu tulus memberi, maka kita pun perlu meningkatkan giat untuk membantu sesama. Bila kambing begitu solid dan taat pada aturan sang tuan atau minimal kambing yang tua, maka kita mesti solid dan taat aturan. Jangan sampai soliditas dalam menanggulangi bencana non alam seperti Covid-19 ini malah dihancurkan atau dikotori oleh tingkah pejabat publik dan masa pendukung yang melakukan kerumunan tak bermutu alias kerumunan sampah. 

Jangan sampai pejabat publik dan warga masyarakat yang notabene manusia yang konon punya akal dan nurani malah kalah solid dan sigap sama segerombolan kambing. Kita, manusia diberi akal sehat supaya berpikir lebih rasional dan jernih. Dengan potensi nurani yang suci kita diharapkan melihat permasalahan secara jujur dan universal. Jangan sampai kerumunan masa dianggap bukan masalah gegara masanya tak diundang, dan alasan busuk lainnya. Kalau masa tak diundang, lalu untuk apa pejabat publik hadir dan membagi sesuatu di tengah-tengah kerumunan warga? 

Menghadapi bencana non alam seperti Covid-19 ini memang butuh kesabaran dan ketelatenan sekaligus kejujuran dan kesungguhan. Daya kreasi dan inovasi setiap orang pun diuji pada masa ini. Ya, setiap orang pun memiliki penyikapan tersendiri. Saya sendiri dan keluarga kecil saya, mengisi masa pandemi ini dengan banyak menulis dan membaca buku, di samping olahraga rutin dan piknik ke alam terbuka seperti sawah dan sebagainya. Memilih cara seperti ini memang tak terlihat mewah, tapi dampaknya jauh lebih mewah. Bukan hari ini tapi nanti. Tunggu momentumnya.  

Sawah dan kambing memang makhluk yang terlihat sepela dan mungkin dianggap bukan apa-apa. Tapi percayalah, dari sawahlah tempat asal nasi yang kita makan. Prosesnya tentu panjang, namun ujungnya menjadi nasi yang kita makan. Sawah pun benar-benar berjasa. Bukan saja pada kambing, tapi juga pada kita. Dan percayalah, kambing telah mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya menjaga marwah sebagai manusia. Makan seperlunya, dari yang halal tentu saja. Tak perlu mencuri anggaran negara dengan tindak pidana korupsi. Apalah lagi mencuri dana bantuan sosial alias bansos demi kepentingan diri, keluarga dan kelompok, itu tak pantas. Selain mempertontonkan kebebalan akal juga memperlihatkan lakon norak yang memalukan. 

Lalu, kambing juga memberi kita pembelajaran bagaimana membangun atau menjaga soliditas dan kebersamaan kita demi mencapai tujuan bersama. Katakanlah tujuan bersama kita adalah mempersempit ruang penyebaran Covid-19 dan menanggulangi dampaknya dalam berbagai aspek kehidupan, maka kita mesti solid dan bersatu. Tak boleh mencari celah untuk melanggar aturan. Tak boleh membuat kerumunan lalu berkilah itu bukan kerumunan. Jangan sampai tingkah kita lebih busuk dari bau kencing kambing. 

Di atas segalanya, sawah dan kambing adalah dua makhluk yang memiliki keunikan tersendiri. Saya sendiri memiliki kenangan bersama keduanya di masa kecil silam. Terutama masa-masa masih duduk di bangku SD. Setiap pagi, siang dan sore selalu bersama kambing. Jalan bersama, menikmati indahnya alam, termasuk sawah yang kaya padi. Termasuk menikmati rerumputan hijau yang selalu hadir tak jauh dari padi sawah. Jalan santai ke sawah dan menyaksikan tetua bersama kambing peliharaannya hari ini membuat saya teringat dengan masa lalu yang indah. Masa lalu bersama sawah dan kambing pun benar-benar penuh kenangan yang terus terngiang dan sulit untuk dilupakan. (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Pendidikan Ramadan" 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Alasan Memilih Muhamad Salahudin Pada Pileg 2024

Mengenang Mama Tua, Ine Jebia

Jadilah Relawan Politik Tanpa Mahar!