ANAK KAMPUNG DAN CERITA GOKIL DI TANAH RANTAUAN


Hari ini Kamis 18 Februari 2021 saya sangat bergembira karena bisa bermain di sawah lagi. Bukan sawah milik memang, sebab ini milik tetangga di dekat kompleks perumahan Arum Sari, Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon, yang berbatasan dengan Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon-Jawa Barat. Namun bagi saya bisa bermain ke sawah semacam ini adalah sesuatu. Bagi saya sawah adalah kehidupan. Bukan saja bagi masa lalu tapi juga bagi masa depan. Sebab saya orang kampung yang sudah lama akrab dengan sawah. Kali ini saya bisa mengenang kembali masa kecil di kampung halaman, Cereng, Manggarai Barat-NTT tahun 1983-1996 (13 tahun). Dari kecil hingga lulus SD di Sekolah Dasar Katolik (SDK) Cereng pada 1996. 

Bermain di sawah adalah masa-masa indah dan penuh kenangan. Menangkap ikan dan belut. Mengejar itik dan bebek pada siang dan malam hari. Kejar-kejaran dan bermain dengan teman-teman sebaya. Balapan lari dengan kerbau. Selain itu, membajak sawah bersama kerbau, menanam padi bersama keluarga besar, membersihkan tumbuhan selain padi, memotong padi hingga membersihkan padi. Setelah itu menjemur dan menumbuk atau menggiling padi hingga menjadi beras yang kelak dijual atau dimakan. Bisa beli celana dan baju baru pengganti celana dan baju lama yang sudah robek dan penuh daki.  

Setelah itu, saya tinggalkan semuanya. Benar-benar meninggalkan semuanya. Bukan untuk hidup santai, tapi untuk menggapai dan merawat cita-cita mulia atau impian yang dipesan atau dititip orangtua juga keluarga besar. Saya merantau ke Lombok-NTB tahun 1996-2002 (selama 6 tahun), Surabaya-Jawa Timur 2002 (selama beberapa bulan), Bandung-Jawa Barat tahun 2002-2009 (selama 7 tahun), Jakarta tahun 2009-2010 (selama 1 tahun) dan Cirebon-Jawa Barat tahun 2010-hingga kini 2021 (selama 11 tahun). Lama sekali bukan?  

Bayangkan saja, menjelang usia saya genap 38 tahun, tepatnya nanti pada 8 Agustus 2021, saya bercumbu dengan kampung kelahiran hanya 13 tahun. Benar-benar hanya 13 tahun. Sangat singkat bukan? Sementara sisanya yaitu sekitar 25 tahun atau sekitar 66 % lebih usia saya malah di tanah rantauan. Benar-benar terasa segala tantangan dan ujian hidupnya. Sebuah pengalaman hidup yang bikin hidup ini mestinya semakin nikmat untuk dilalui. Saya berharap semuanya dalam bimbingan dan keberkahan Allah. Sebab itu adalah kunci dan modal yang sangat berharga yang mesti dijaga. 

Salah satu cerita yang paling seru adalah ketika saya hendak dilaporkan ke polisi oleh komplotan tertentu gegara terlambat mengedit naskah buku mereka. Padahal uang jasa edit belum masuk sepeser pun. Intinya tidak sesuai dengan kesepakatan awal: mesti ada uang masuk, minimal 50% dari seluruh uang jasa. Naskah sebetulnya sudah selesai saya edit. Hanya saja saya butuh kepastian pelunasan jasa editnya. Konon naskah buku yang saya edit dipakai untuk menggapai jabatan tertentu. Entah apakah itu benar atau tidak, yang jelas waktu itu saya agak kaget aja. Masa iya edit naskah malah jadi terpidana? 

Belakangan setelah saya cek dan menelisik, ternyata yang bersangkutan adalah politisi pada sebuah partai politik. Naifnya, waktu itu ternyata otak alias orang yang menggerakannya adalah anggota KPUD di sebuah daerah. Setelah saya telisik lagi, ternyata yang bersangkutan adalah pengurus partai politik. Ya pengurus partai politik jadi komisioner KPUD menjadi komplotan proyek. Sebuah fakta yang membuat saya semakin geleng kepala. Masa sih anggota KPUD juga pengurus partai politik? 

Saya pun langsung menghubungi pihak terkait agar yang bersangkutan dicopot alias dipecat, karena menyalahkan mandat negara  demi kepentingan partai politik. Akhirnya yang bersangkutan pun benar-benar dipecat juga. Dan tidak bisa melanjutkan kuliah S3. Konon yang bersangkutan pun diberhentikan dari kepengurusan partai politik dimana dia aktif gegara terjerat kasus amoral yang memalukan. Konon si politisi yang menjabat di KPUD itu pun meminta maaf. Cuma saya tak cukup pulsa untuk menyampaikan pesan perihal menerima maafnya. Walau begitu, saya sudah memaafkan. Benaran sudah memaafkan. 

Pengalaman lain adalah pada saat hendak dikeroyok oleh puluhan preman yang mengaku seniman. Setelah saya telisik ternyata mereka bukan seniman dan tidak ada kaitan dengan kelompok manapun. Mereka hanyalah pemain proyek yang kerap bermain pada anggaran tertentu. Belakangan ternyata diantara mereka sudah terjerat kasus hukum dengan pasal "turut serta. Sisanya masih dikejar berbagai kasus hukum. Saya geleng-geleng kepala pada mereka. Mengapa marah pada saya, saya kan bukan penyidik KPK, bukan penyidik Kejaksaan dan bukan aparat Kepolisian? Belakangan ada yang minta maaf. Saya maafkan. Karena memang saya tak punya musuh dan tak ingin punya musuh. 

Ada lagi tim sukses seorang politisi pada momentum pesta politik, khususnya pilkada, yang mengancam saya gegara tulisan saya yang dimuat di sebuah surat kabar. Saya mengkritik kebijakan sang politisi yang tak ada dampak baiknya bagi pembangunan daerah di mana ia memimpin. Tapi akhirnya tim sukses dan pejabat malah terjerat hukum. Bukan karena saya, tapi karena mereka sendiri. Sebab saya menulis bukan karena pesanan, tapi karena tanggungjawab moral sebagai warga negara. Hanya itu, tidak ada kepentingan lain. Belakangan si tim sukses malah minta maaf. Saya maafkan. Dan tak ada soal. Karena memang saya tak ada masalah dengan siapapun. 

Sebetulnya selama 25 tahun di tanah rantauan ada begitu banyak cerita yang bisa saya bagi atau share, cuma mungkin itu nanti pada lain waktu saja. Ada waktunya, dan mungkin perlu juga saya ceritakan ke banyak orang. Hari ini saya cukup berbagi tentang kegembiraan saya saja. Bergembira gegara bisa bermain di sawah lagi. Mengenang masa kecil yang penuh kenangan. Kampung halaman memang punya banyak cerita. Tentang dirinya, saya dan siapapun yang tak melupakan kampung halamannya. Begitu indahnya hidup dalam kondisi sederhana yang jauh dari hiruk pikuk kota. 

Ah bahagianya menjadi anak kampung. Bisa menghirup udara segar, bisa melihat hutan lebat dan bisa bermain dengan kerbau di sawah. Dan tentu saja bisa bermain dengan teman-teman sebaya yang kini semuanya sudah punya anak. Lalu bisa segala macam. Termasuk membiayai pendidikan dari hasil penjualan beras yang berasal dari hasil sawah orangtua. Mengenang masa-masa itu seperti mengenang kehidupan yang kaya nilai dan inspirasi. Mungkin ada puzle yang belum diingat, namun sebagian besarnya selalu saya ingat dan benar-benar membuat memori ini terngiang ke masa itu. 

Ya bahagianya menjadi anak kampung. Benar-benar anak kampung. Bukan mendadak menjadi anak kampung seperti para politisi yang biasa membangun citra demi meraup suara pemilih pada momentum pesta politik. Saya benar-benar asli kampung Cereng yang hingga kini belum tersentuh listrik PLN, air PDAM dan jalan raya beraspal. Tepatnya di Desa Golo Sengang, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat-NTT. Di kampung saya bisa bercumbu dengan sawah, bisa naik kerbau di tanah lapang yang ditumbuhi berbagai jenis rumput dan bisa bermain dengan teman-teman dalam beragam jenis permainannya. Bila dulu di kampung begitu gembira ditemani celana dan baju yang sudah robek alias bolong dan penuh daki, kini ada celana dan baju baru yang menemani. Semuanya murah, meriah dan insyaa Allah berkah. (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Pendidikan Ramadan" dan "Selamat Datang Di Bumi Komodo" 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Alasan Memilih Muhamad Salahudin Pada Pileg 2024

Mengenang Mama Tua, Ine Jebia

Jadilah Relawan Politik Tanpa Mahar!