OPTIMISME MELAHIRKAN PEMIMPIN YANG ANTI KORUPSI

HARI ini Selasa 8 Desember 2020 Pukul 14.30 WIB saya menghadiri diskusi serial (NGOPI) Jilid I Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang se-DKI Jakarta, yang diselenggarakan dalam rangka menyambut Hari Anti Korupsi Sedunia 9 Desember 2020 yang juga bertepatan dengan pelaksanaan Pilkada Serentak 2020.

Diskusi Jillid I yang dihadiri oleh berbagai aktivis mahasiswa dan pemuda lintas latar belakang kali ini menghadirkan pembicara tunggal yaitu seorang tokoh bangsa sekaligus akademisi senior Romo Franz Magnis Suseno. Kali ini beliau secara khusus membahas mengenai kepemimpinan, etika pemimpin dan memberikan edukasi tentang bagaimana ciri pemimpin ideal. 

Tujuan diskusi ini adalah agar publik semakin memiliki gambaran mengenai pemimpin yang ideal, pemimpin yang mampu mempertahankan integritas di tengah gempuran pragmatisme. Hal ini menjadi menemukan konteksnya, terutama di tengah momentum Pilkada Serentak yang diikuti oleh 270 daerah dan hari Anti Korupsi yang bertepatan pada 9 Desember 2020 ini. 

Diantara poin penting dari apa yang beliau sampaikan pada acara bernyawa intelektual ini, antara lain pemimpin kekinian mesti memiliki kompetisi dasar. Bila saya elaborasi kembali dari yang beliau sampaikan, bahwa pemimpin ideal itu memiliki ciri-ciri dasar, diantaranya sebagai berikut: 

Pertama, memiliki keberanian. Pemimpin mesti  bertindak sesuai dengan keyakinannya. Pemimpin tidak membebek kepada siapapun tanpa argumentasi. Ia bertindak berdasarkan jalur formalnya. Ia suka mendengar, bukan tuli dari kritik dan nasehat orang lain, termasuk dari orang yang tidak menyukainya. 

Kedua, bertanggungjawab. Pemimpin mesti bertanggungjawab kepada bangsa dan negaranya, termasuk warga negaranya. Seorang calon pemimpin daerah, misalnya, ia mesti mampu menanggulangi berbagai masalah rakyatnya. Termasuk kemiskinan dan keterbelakangan yang masih mebyelimuti berbagai daerah. 

Ketiga, kejujuran dan idealisme. Pemimpin mesti jujur. Indikatornya, ucapan dan tindakannya bisa dipahami dan dipegang. Ia tidak licik dan tidak suka menipu. Pemimpin mesti peduli dengan setiap ucapan dan tindakannya. Ia fokus mensejahterakan daerah dan bangsanya, bukan untuk diri dan kelompoknya semata. 

Dalam konteks Indonesia, ia mesti berpijak pada idealisme kebangsaan dengan dasar negara Pancasila yang sudah menjadi pijakan utama dalam menjalankan mandat dan tugas kepemimpinannya. Pemimpin bukan sibuk untuk dirinya, tapi pada kehendak rakyat yang dipimpinnya.

Kalau ditelisik secara serius, ada tiga tantangan Indonesia masa kini. Tiga tantangan tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, kemiskinan. Kedua, radikalisme kelompok, dan Ketiga, korupsi. Bila ketiga hal ini tidak dihadapi secara cerdas maka ketiganya bakal menjadi biang besar yang menghancurkan bangsa. 

Secara khusus, kemiskinan adalah dampak dari penguasaan atau monopoli kekayaan alam pada sekelompok orang. Sementara sebagian yang lain hanya dikorbankan. Kekayaan alam diperuntukkan hanya bagi pejabat dan penguasa, sementara rakyat biasa hanya menjadi korban. 

Selanjutnya, radikalisme kelompok adalah penyakit berbahaya. Sebab penyakit ini meniscayakan suatu kelompok menepikan kelompok yang lain. Selanjutnya, memberi dampak pada saling menghabisi dalam banyak skala. Bila dibiarkan, sangat sulit menemukan senyawa kolektivisme yang terjaga. 

Berikutnya, korupsi adalah penyakit yang sangat berbahaya bagi siapapun. Baik bagi pelaku maupun bagi para korbannya. Sebab penyakit ini ditimbulkan oleh mental yang keropos dan jorok. Pemimpin yang bermental buruk bakalan menipis bahkan kehilangan integritas. Dengan demikian, ia pun terjebak dengan tindakan brutal berupa korupsi, bahkan kriminal dalam bentuk lain. 

Korupsi sejatinya adalah penghambat pembangunan dalam banyak aspek kehidupan. Korupsi menggerogoti substansi sosial. Ini bermakna, walau pun pelakunya adalah pejabat negara sendirian, namun ia berdampak besar bagi ekonomi dan berbagai aspek lainnya. Untuk itu, perlu ada usaha berbagai elemen untuk menghindarkan daerah dan bangsanya dari penyakit korupsi. 

Bagi sebagian kalangan, korupsi adalah budaya. Sementara bagi sebagian yang lain, korupsi adalah karakter. Kedua pandangan ini tak ada yang salah dan tidak saling berhadapan. Keduanya tentu saja benar dan akan objektif sesuai dengan konteksnya masing-masing. Suatu hal yang pasti bahwa korupsi adalah penyakit yang berbahaya bagi bangsa dan negara. 

Pada intinya, bila keserakahan sudah menjadi karakter maka ia akan menjadi biang bagi terjadinya praktik korupsi. Bila biaya politik  terutama dalam pemilu atau pilkada maka hal ini akan menjadi biang bagi tindak podana korupsi. Bila semakin menjadi-jadi maka korupsi pun bakal menjadi budaya yang menggejala di mana-mana, baik para pejabat maupun pengusaha, bahkan rakyat yang punya peluang menjadi koruptor.

Diantara jalan keluar dari kondisi demikian, diantaranya, pertama, maksimalnya peran lembaga yang bertugas memeriksa keuangan negara seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Di samping itu, perlu penegakan hukum yang semakin kencang. KPK misalnya, perlu diperkuat sehingga mampu menjalankan tugasnya dengan baik. 

Selain itu, kedua, perlu penguatan media massa. Media massa mesti melakukan pencerahan dan pencerdasan publik. Media massa perlu mengakomodir suara kritik elemen kritis bila mengkritisi kebijakan yang tidak sesuai dengan aturan dan kepatutan publik. Kekuatan kritis mesti ditempatkan sebagai elemen yang meneguhkan kolektivisme, bukan dikebiri. Mungkin terasa pahit, namun kritik adalah suara nurani. Dengan syarat tetap disampaikan dengan cara santun dan beradab.

Hal lain, ke depan perlu penguatan ideologi partai politik. Pancasila masih relevan dalam konteks politik Indonesia. Ia sebagai dasar negara dengan segala nilai-nilai yang dikandungnya dalam lima sila perlu dinarasikan dan diinternalisasi secara masif, sehingga nilai-nilai tersebut menjadi pijakan dan pembingkai berbagai langkah kepemimpinan dan kepijakan publik. Partai politik mesti bertanggungjawab untuk melahirkan pemimpin yang paham Indonesia dengan segala dinamikanya. 

Selain itu, lembaga pendidikan perlu meningkatkan perannya dalam membentuk karakter unggul yang mengokohkan stok generasi baru bangsa. Baik pendidikan formal dan informal maupun non formal. Lembaga pendidikan mesti berkolaborasi secara maksimal dalam melakoni peran pendidikan. Dari sekolah dasar, lanjutan pertama dan atas hingga perguruan tinggi. 

Termasuk peran pendidikan keluarga dan masyarakat juga perlu ditingkatkan. Keteladanan, kebiasaan dan pengulangan berbagai aktivitas dan karakter baik di berbagai lembaga pendidikan akan membentuk integritas generasi baru bangsa. Mereka itulah kelak yang akan melanjutkan estefeta kepemimpinan bangsa dalam segala levelnya. Mereka jugalah kelak yang anti korupsi. Semoga sejarah masih menceritakan fakta dan optimisme bahwa Indonesia masih bisa menghadirkan model pemimpin semacam itu  (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulia Buku "Membaca Politik Dari Titik Nol". 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Alasan Memilih Muhamad Salahudin Pada Pileg 2024

Mengenang Mama Tua, Ine Jebia

Jadilah Relawan Politik Tanpa Mahar!