INSPIRASI BELAJAR DARI BUKHARI MUHTADIN


USIANYA baru 6 tahun lebih, tapi membaca buku adalah kesukaannya. Dari buku TK semasa ia duduk di bangku TK hingga buku cerita. Belakangan dia juga membaca beberapa buku dewasa yang ada di perpustakaan rumah. Hal ini sudah menjadi kesukaannya sejak kecil hingga saat ini. Prestasi semacam ini membuatnya semakin tergila-gila untuk membaca, terutama buku. 

Bahkan buku saya yang berjudul "Membaca Politik Dari Titik Nol" pun dia baca juga. Buku ini tergolong serius, karena memang membahas hal-hal serius. Walau belum tuntas membaca isi buku ini, tapi beberapa judul di dalamnya sudah dia baca. Beberapa judul pun dia ingat dan kadang menguji saya, apakah saya masih ingat atau tidak. Pokoknya seru! 

Uniknya lagi, testimoni tokoh pada cover belakang buku dia hafal, termasuk nama tokohnya. Tak terkecuali gelar dan latar profesinya. Termasuk beberapa buku saya yang bertema pendidikan, ia lahap juga. Tak terkecuali komentar para tokoh yang dicantumkan pada cover belakang buku, dia baca dan hafal juga. 

Buku saya yang bertema pendidikan yang saya maksud diantaranya berjudul "Membangun Pendidikan dan Bangsa yang Beradab", "Pendidikan Mencerahkan dan Mencerdaskan Bangsa", Pendidikan Untuk Bangsa", "Menjadi Pendidik Hebat", dan "Melahirkan Generasi Unggul". Semua buku ini sudah tersebar dan sudah dibaca banyak pembaca di beberapa kota di seluruh Indonesia. 

Dalam beberapa kesempatan ia selalu mengajak saya dan keluarga kecil kami untuk berkunjung ke Radar Cirebon. Selain untuk bermain santai di halaman depan Gedung Graha Pena Radar Cirebon, juga untuk sekadar foto bareng sembari memegang buku. Di samping itu, ia kadang membaca buku dan surat kabar seperti Radar Cirebon dan Rakyat Cirebon sambil menikmati makan ringan yang sengaja ia beli atau sediakan. 

Apalah lagi bila tulisan atau artikel saya dimuat di dua koran yang beralamat di Jl. Perjuangan No. 9, Kota Cirebon-Jawa Barat ini, dia riang sekali. Beberapa kesempatan ia pun sempat menyampaikan kritik perihal judul tulisan saya yang dimuat. Dia bilang begini "judulnya kurang bagus", "judulnya engga gaul", "judulnya tua sekali", di samping apresiasinya untuk tulisan saya yang lainnya. "Eh kren", "Asyik, bisa beli buku baru lagi nih", dan sebagainya. 

Biasanya, dia sangat semangat dan riang sekali untuk mengajak saya bila saya enggan berkunjung ke Jl. Perjuangan No. 9 karena beberapa akrivitas. Dialah yang paling getol memaksa saya untuk segera mengambil honor tulisan. Sebab dia tahu betul, nanti uangnya bakal dipakai beli buku baru kesukaannya, di samping jajan khas anak-anak kesukaannya. Pokoknya pada poin ini dia sedikit memaksa.  

Gegara buku saya sudah diterbit dan tulisan saya dimuat di beberapa surat kabar seperti Radar Cirebon, Rakyat Cirebon dan sebagainya, dia pun pernah bilang ke saya perihal keinginannya untuk menulis buku dan artikel di surat kabar. "Ayah, ingin sih menulis buku seperti ayah. Judulnya nanti aja. Pokoknya menulis sesuatu yang spesial buat ayah, bunda dan keluarga kita". 

Terus, dia juga kerap cemburu bila membaca buku karya para tokoh. Makanya dia kadang membuka dan membolak-balik halaman bukunya, sembari melihat gambar yang unik pada beberapa halamannya. Bahkan dia juga suka memberi tanda khusus untuk beberapa halaman pada saat membuka beberapa buku. Entah apa tujuannya, saya tak tahu pasti. 

Memperhatikan perkembangan belajar satu-satunya anak laki-laki saya ini, saya semakin optimis dan percaya bahwa dia bakal menjadi pembelajar. Minimal pembelajar milenial pada zamannya. Walaupun saya menyadari bahwa pada saat tertentu ia juga enggan membaca buku, karena lagi fokus menggambar dan mewarnai berbagai gambar. Apapun itu, bagi saya ini adalah lumrah dan normal. Begitulah cara belajar anak seusianya. 

Begitulah sepotong kisah tentang anak saya yang kedua Bukhari Muhtadin. Anak ganteng kelahiran Kota Cirebon, 10 Maret 2014 ini memang punya semangat yang tak terbendung. Memang sejak dalam kandungan hingga kini saya dan istri suka mengajaknya ke toko buku. Termasuk membaca buku di perpustakaan buku di ruang tamu rumah. Bila sudah datang jadwal dan semangatnya, ia tak mau diganggu. Pokoknya fokus membaca, sehingga kadang tertidur di atas buku.  

Dari apa yang saya saksikan, saya menemukan beberapa pembelajaran berharga, diantaranya, pertama, proses pendidikan membutuhkan keteladanan. Anak adalah anugerah Allah yang sangat berharga. Sebagai orangtua, kita mesti menjadi teladan mereka dalam segala hal yang baik dan benar. Termasuk dalam membangun tradisi belajar. Rutinintas kita yang baik bakal menjadi sumber keteladanan yang mereka ikuti. Maka menjadi orangtua yang teladan pun menjadi niscaya. 

Kedua, proses pendidikan membutuhkan pembiasaan. Anak dengan segala potensi dan keunikannya akan terbiasa dengan sesuatu yang baik manakala adanya pembiasaan. Apapun itu, anak bakal terbiasa melakukan sesuatu bila ia "dipaksa" untuk membiasakan. Kita tentu masih ingat dengan sebuah ungkapan anonim yang mashur, "Orang bisa karena biasa". Ya, anak bisa membaca dan menjaga tradisi membaca dengan baik manakala mereka dibiasakan sejak dini. Baik oleh dirinya sendiri maupun oleh keluarga atau lingkungannya. 

Ketiga, proses pendidikan membutuhkan pengulangan. Setiap kebaikan yang dilakukan berulang kali bakal memberi dampak yang sangat baik bagi perkembangan anak, terutama perkembangan belajarnya. Bila di rumah orangtua berulang kali melakukan kebaikan maka anak pun bakal melakukan hal serupa. Bila orangtua rajin membaca buku maka anak pun bakal rajin membaca buku. Walau tak semuanya demikian, tapi dampak aktivitas baik yang diulang-ulang tentu saja positif bagi anak. 

Ya, anak adalah anugerah terbaik dari Allah bagi orangtua juga keluarganya. Mendidik mereka adalah keniscayaan dan memiliki konsekwensi pertanggungjawaban. Aktivitas kebaikan yang orangtua lakukan di rumah akan menjadi inspirasi bahkan teladan bagi mereka. Dengan pembiasaan dan pengulangan yang rutin, membuat sebuah aktivitas belajar menjadi sesuatu yang terinternalisasi dalam tradisi belajar bahkan kehidupan mereka. 

Saya sendiri sangat terinspirasi dari Bukhari Muhtadin yang bercita-cita menjadi akademisi (guru atau dosen) dan penulis ini. Saya banyak belajar dari tingkah dan sikapnya. Termasuk dari kebiasaan dan semangatnya dalam belajar. Menjadi orangtuanya tak membuat saya malu belajar padanya. Justru dialah yang menjadi inspirasi yang membuat saya terus tersemangati untuk belajar lagi dan terus belajar. Termasuk untuk menempuh pendidikan tingkat lanjut. Semoga pembaca di luar sana juga terinspirasi! (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis buku "Melahirkan Generasi Unggul". Pusat info di WhatsApp 085797644300. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Alasan Memilih Muhamad Salahudin Pada Pileg 2024

Mengenang Mama Tua, Ine Jebia

Jadilah Relawan Politik Tanpa Mahar!