KETIKA NONGKRONG MENJADI BUKU


Menulis adalah kata kerja. Ia menghendaki tindakan nyata. Atau dalam bahasa seorang sahabat saya: menulis itu praktik. Bila dalam benak seseorang ada kata menulis maka yang terlintas mestinya bukan saja huruf m, e, n, u, l, i dan s. Tapi juga bagaimana huruf-huruf itu menyatu dan menjadi bermakna. 

Saya banyak kenal dengan mereka yang punya impian menjadi penulis atau paling tidak punya karya tulis. Tak tanggung-tanggung, mereka ingin menulis buku atau punya buku karya sendiri. Setiap kali bersua selalu mengungkapkan: aku ingin banget punya buku karya sendiri. Pokoknya mesti punya buku. Dan masih banyak lagi. 

Tentu hal demikian adalah perlu dan layak diapresiasi. Sebab realitas adalah hasil dan akumulasi impian yang terbangun dalam ruang pikiran dan imajinasi. Semakin sering memikirkan dan mengimpikan maka semakin besar peluang untuk mewujudkannya. Mungkin standarnya baru sampai di situ. 


Tapi dalam kata menulis tak cukup bermimpi. Ia menghendaki adanya tindakan nyata. Ia adalah kata kerja yang membutuhkan tindakan lanjutan. Ya ia butuh tindakan nyata alias praktik. Bila seseorang ingin atau punya impian punya buku maka yang mesti dilakukan adalah mencicil tulisan. Ada praktik rilnya. Kalau sekadar berkata tanpa praktik menulis, sampai kapan pub tidak bakal punya karya tulis atau buku. 

Praktisnya ia mesti berani mulai untuk mengeja sekaligus merajut huruf menjadi kata, kata menjadi kalimat, kalimat menjadi paragraf, paragraf menjadi artikel, dan artikel menjadi buku. Ia mesti berani dan memaksa diri setiap hari. Rumusan ini terlihat sederhana, namun hanya sedikit orang yang mampu menjalaninya.  

Nah, agar tak menyusahkan dan terus-terusan sekadar memamer impian, maka yang dilakukan, sekali lagi, adalah mencicil tulisan. Sekadar berbagai pengalaman. Saya sendiri bukan penulis. Profesi saya juga bukan penulis. Hanya saja setiap hari saya mesti menulis sesuatu. Pembaca atau sahabat-sahabat saya mungkin menjadi saksi bahwa hampir setiap hari saya menulis. 

Karena bukan pakar atau ahli, saya memilih menulis bebas. Saya mencicil tulisan dari tulisan sederhana. Bahkan kadang dari status facebook lalu menjadi tulisan atau artikel panjang. Hampir semua atau rerata tulisan saya berasal dari situ. Lalu dikembangkan menjadi tulisan yang agak panjang. Bila layak dipublikasi, saya langsung publikasi. Baik di surat kabar maupun di media online. Termasuk di blog saya sendiri. Kumpulan tulisan tersebut kelak saya sortir menjadi beberapa naskah dalam beragam tema. 

Saya termasuk yang perlu bangga karena masih terdaftar sebagai warga asli Warung Kopi Waw Graha Pena Radar Cirebon. Dari aktivitas nongkrong termasuk di warung ini saya berhasil menulis ratusan artikel hingga puluhan buku. Tepatnya 29 buku dalam beragam tema. Bahkan dalam waktu dekat sudah mencapai 35 judul buku. Bukan sesuatu memang, tapi minimal saya punya bukti ril bahwa saya punya buku karya saya sendiri. 

Karena bukan ahli pada bidang tertentu, saya pun menulis dalam beragam tema dengan gaya bebas dan sesuka saya. Pokoknya semaunya saya saja. Salah satu buku yang saya maksud adalah buku "Membaca Politik Dari Titik Nol". Buku setebal 328 halaman ini dicumbui selama nongkrong, termasuk di warung kopi Waw yang saya sebutkan di atas. Termasuk buku yang sedang saya garap buku berjudul "Yuk Ke Cirebon", saya beresin di sini juga. 

Bagi sahabat yang masih malu atau enggan nongkrong, atau yang merasa selalu kehilangan ide pada saat hendak menulis, maka yang perlu dilakukan adalah nongkrong. Semakin rajin nongkrong bakal semakin besar peluang lahirnya ide baru. Tak usah takut dan khawatir, sebab setiap ide ada momentumnya masing-masing. Percaya deh... 

Nah diantara kunci utama yang membuat saya terus menulis adalah saya tidak bisa diintervensi oleh siapapun dan tidak bisa dipaksa oleh siapapun. Saya berdiri tegak di atas kebebasan dan selera yang benar-benar mandiri. Inilah anugerah terhebat yang saya dapat dari Tuhan selama ini. Yaitu merdeka dalam menulis. Itulah yang membuat ide menulis terus mengalir dan hampir tak ada matinya. 

Agar bertambah percaya dengan apa saya sampaikan ini, silahkan sempatkan diri untuk nongkrong. Ya minimal nongkrong di Warung Kopi Waw Graha Pena Radar Cirebon. Nanti di sini bakal terbangun imajinasi tentang banyak hal. Termasuk dalam dunia kepenulisan dan kekaryaan. Ide dan gelora menulis pun bakal terus muncul. Menulis pun bukan sekadar impian tapi bakal mewujud dalam bentuk karya terutama dalam bentuk buku. Kalau tak percaya juga, ya sudahlah, itu hak masing-masing. (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis buku "Membaca Politik Dari Titik Nol" dan Sekretaris Forum Penulis Radar Cirebon. 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Alasan Memilih Muhamad Salahudin Pada Pileg 2024

Mengenang Mama Tua, Ine Jebia

Jadilah Relawan Politik Tanpa Mahar!