PILKADA SERENTAK 2020 DAN ASA KEPEMIMPINAN TRANSFORMATIF 

BENCANA Non Alam: Covid-19 telah berdampak pada berbagai aspek kehidupan kita, tak terkecuali dalam aspek politik. Pilkada Serentak 2020, misalnya, yang semula mesti diselenggarakan pada 23 September 2020, akhirnya diundur pada 9 Desember 2020 nanti. Ada 270 daerah (propinsi, kota dan kabupaten) di seluruh Indonesia yang turut melaksanakan Pilkada Serentak tahun ini. 

Secara umum, pemilihan umum adalah momentum bagi para pemilih untuk memilih atau menentukan siapa yang akan memimpinnya kelak. Dalam konteks Pilkada Serentak, secara khusus akan dijadikan oleh para pemilih untuk memilih atau menentukan siapa yang akan memimpin daerahnya kelak. Dipahami bahwa leader is a dealer in hope. Seorang pemimpin adalah penjual sekaligus pembeli harapan, demikian petuah Napoleon Bonaparte. 

Pemimpin ideal pastilah seseorang yang memiliki karakter yang kuat, punya visi yang mengakar pada kehendak publik, menjadi inspirator dalam setiap situasi, dan mesti mampu memberi harapan meyakinkan di tengah kesulitan yang mendera daerahnya masing-masing. 

Winston Churchill dan Franklin D. Roosevelt mungkin bukan sosok terbesar dalam sejarah. Namun, keduanya adalah figur yang mampu menginspirasi rakyatnya di masa paling sulit yang harus dilalui bangsanya. Chrucill membawa Inggris melewati ganasnya Perang Dunia II, sedangkan Rosevelt menjadi orang nomor satu di Amerika Serikat ketika “Depresi Besar” sedang melanda negaranya. Rosevelt berhasil menyuntikkan harapan kala harapan menjadi satu-satunya yang tersisa dari bangsanya. 

Soekarno (Bung Karno), Mohammad Hatta (Bung Hatta), Mohammad Natsir (Pak Natsir) dan para tokoh besar lainnya adalah sosok-sosok yang mampu memimpin, bukan saja dalam konteks struktur negara tapi juga dalam geo-psikologis masyarakat (rakyat) secara umum. Mereka mampu mengalahkan ego personal demi melompat jauh menjadi pemimpin yang inspiratif, menggelorakan juga membanggakan rakyatnya. 

Para pemimpin tersebut, terutama ketiga nama yang disebutkan, adalah model pemimpin negeri ini yang unik. Ekspetasi publik kepada mereka pun bukan mengalir di saat mereka memimpin saja, tapi juga pasca mereka memimpin bahkan hingga kini di saat mereka telah tiada. Mereka pun mampu menjadi pemimpin yang terkenang sepanjang sejarah republik hingga kini. Sebagai pemimpin yang “transformatif”, mereka mampu menapak peran kepemimpinannya dengan sungguh-sungguh, penuh dedikasi dan menyimpan banyak warisan berharga. 

Pemimpin adalah satu nama untuk mereka yang tak sibuk dengan janji dan tidak peduli dengan citra diri, karena mereka hanya sibuk membuat pekerjaan dan mengerjakan pekerjaan tersebut, sehingga mereka tercitra sebagai pemimpin yang layak diteladani. Tanpa media massa yang begitu masif mengenalkan mereka ke ruang publik pun, para pemimpin itu tetap saja dikenal dan dikenang oleh sejarah bangsa, termasuk oleh nurani rakyat. 

Dalam studi kepemimpinan, politisi-negarawan pasti menerapkan model kepemimpinan tranformasional yang memiliki visi yang kuat dan memasa depan. Pemimpin model ini tidak mudah tersuluh dalam kubangan politik transaksional dengan berbagai jargon ilutif yang bisa jadi hanya branding di media massa demi meraup suara tanpa kejelasan arah. Pemimpin (politisi-negarawan) akan menerapkan model kepemimpinan transformasional dalam memimpin, baik dalam skala individu maupun organisasi (Tichy dan Devanna, 1993). 

Bass dan Avolio (1994), dalam buku Improving Organizational Efectiveness through Transformasional Leadership, kepemimpinan transformasional dicirikan oleh The four I’s, kepemimpinan transformasional dicirikan oleh The Four I’s (empat huruf ‘I’).  Pertama, idealized influence, rakyat dibuat berdecak kagum, hormat dan percaya. Tidak ada elemen publik (yang benar-benar sesuai nurani publik) yang “menuduh” pemimpinnya sedang melakukan kebohongan publik, termasuk dalam berbagai situasi politik. Autentisitas menjadi mantra yang membuatnya “bersungguh-sungguh” bekerja untuk kepentingan publik. Kedua, mampu menggelorakan inspirational motivation, menyuntikkan motivasi dan asa pada rakyatnya serta mampu merealisasikan harapan menjadi kenyataan. Ketiga, intellectual stimulation. Gaya kepemimpinan transformasional kaya akan ide-ide baru, gagasan-gagasan baru juga terobosan yang inspiratif. Sebab sang pemimpin sadar betul bahwa pemimpin adalah leader bukan dealer. Keempat, individualized consideration, yang mau mendengar keluhan bawahan, bersikap layaknya manusia, dan apa adanya. Dalam arti yang luas, pemimpin tidak membuat benteng pemisah dengan rakyatnya. Ia sadar bahwa diri dan yang dipimpinnya adalah “orang” bukan “orang-orangan”. 

Dalam konteks menjelang Pilkada Serentak 9 Desember 2020 mendatang kita memiliki banyak harapan. Pertama, para pemimpin segera berhenti berpuisi dan segeralah membuat prosa. Janganlah menjejali publik dengan bait-bait janji dan harapan atas nama “pengalaman”, “rakyat”, “kemampuan”, “karakter”, “ketegasan”, “mentalitas” dan serupanya yang dipidatokan di berbagai momentum dan panggung. Bagi publik, semua itu adalah “puisi janji”, padahal publik hanya butuh “prosa naratif” yang sangat mungkin mampu ditunaikan kelak. 

Memerintah itu pada dasarnya bagaikan membuat prosa yang diisi dengan narasi yang “menguraikan” sekaligus “menuntaskan”. Ketika pidato politik hanya menyentuh “langit” elite tapi tak menyentuh “bumi” publik, maka pidato tersebut pun segera masuk dalam kategori puisi janji. Padahal, memimpin daerah dengan berbagai permasalahan yang begitu rumit membutuhkan pemimpin yang memiliki kemampuan teknokrasi yang canggih dan kemampuan pemetaan masalah yang strategis, di samping kematangan yang ditopang oleh pengalaman menyelesaikan masalah-masalah yang nyaris tak terjangkau oleh para pemimpin yang sudah berlalu.  

Kedua, para pemimpin tak mudah menjual nama rakyat dengan berbusa-busa menyebar tema “demi kepentingan rakyat” yang justru menodai hak azasi dan harga diri rakyat. Bagi rakyat biasa sederhananya saja, pemimpin yang pro rakyat itu adalah pemimpin yang kebijakannya tidak mencekik hak dasar (azasi) rakyat dalam segala aspeknya, bukan yang berbusa-busa janji lalu ingkar janji.    

Sungguh, 270 daerah yang mengikuti Pilkada Serentak tahun 2020 ini tak butuh pemimpin yang “ngasal”, tapi butuh pemimpin yang autentik. Autentisitas berbicara tentang karakter yang merasuk ke dalam jiwa publik, kapasitas inspiratif, akuntabilitas dan tentu saja mampu mewujudkan janji politik dalam kehidupan publik ketika kelak memimpin. Semoga Pilkada Serentak 9 Desember 2020 nanti benar-benar mampu dan berhasil melahirkan pemimpin yang transformatif! (*)


* Tulisan ini dimuat pada halaman 4 Kolom Wacana Koran Radar Cirebon edisi Kamis 23 Juli 2020. Judul "PILKADA SERENTAK 2020 DAN ASA KEPEMIMPINAN TRANSFORMATIF" oleh: Syamsudin Kadir, penulis buku "Politisi Jangan Ingkar Janji"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Alasan Memilih Muhamad Salahudin Pada Pileg 2024

Mengenang Mama Tua, Ine Jebia

Jadilah Relawan Politik Tanpa Mahar!