DEMOKRASI TAHI AYAM! 

DALAM berbagai literatur kita bisa memahami bahwa demokrasi adalah medan terbuka bagi setiap elemen untuk menentukan kepemimpinan dan tujuan bersama. Oleh, dari dan untuk rakyat kerap menjadi ungkapan yang mewakili penyederhanaan atas makna dan substansi demokrasi. 

Dalam skala praktis, demokrasi mewujud dalam bentuk partai politik, proses kandidasi, pesta politik, dan merawat sekaligus memenuhi janji-janji politik dalam bentuk kebijakan atau program kerja yang sesuai dengan kebutuhan publik. Tersedia ruang kritik dari elemen publik pun merupakan bagian dari praktik demokrasi itu sendiri. 

Bila praktiknya menepikan hal semacam itu terutama mengingkari janji-janji politik, maka kredo demokrasi oleh, dari dan untuk rakyat justru tidak menemukan konteksnya. Apalah lagi bila dampak kepemimpinan menyebabkan kegaduhan yang tak produktif dan menghadirkan instabilitas, di sini demokrasi menjadi ilutif. 

Pertanyaan mendasarnya adalah, demokrasi apa yang Anda bela dan agungkan, sehingga berbusa-busa bahkan mati-matian menebarnya ke mana-mana, padahal hanya melanggengkan dinasti politik dan malah menternak secara terbuka monarki baru? 

Lalu, demokrasi apa lagi yang Anda dagang atau jual dalam beragam janji politik dan kemasan atau bungkusan merakyat lalu Anda ingkari bahkan melupakan pemilih Anda sendiri di saat mereka membutuhkan keamanahan dan pemenuhan janji politik Anda pada saat Anda memimpin? 

Bila dalam partai politik tak ada kompetisi penentuan bagi para calon pemimpin dan sirkulasi kepemimpinan partai politik ditepikan secara telanjang, maka itu bukan demokrasi yang rasional, tapi itu lebih pantas disebut demokrasi tahi ayam. Sebab di situ hanya ada kehangatan dalam menebar janji untuk diingkari di saat terpilih atau menjabat kelak. 

Bila proses kandidasi sudah diisi oleh proses manipulasi dengan bungkus yang seakan-seakan demokratis padahal nihil kompetisi sehat dan menepikan azas keterbukaan, maka itu bukan demokrasi, itu lebih tepat disebut, sekali lagi, demokrasi tahi ayam. Demokrasi yang dipoles sedekian rupa demi tujuan busuk. 

Demokrasi tahi ayam adalah demokrasi yang dibangun di atas semangat berkuasa demi mencapai kebutuhan syahwat politik, melanggengkan kepentingan diri dan kelompok, menjarah kekayaan alam negara dengan paket formalistik, dan pamer janji dengan berbusa-busa rupa untuk kelak diingakari. Intinya, hangat-hangat tahi ayam. 

Tapi publik tak bisa kalah dan merima begitu saja realitas semacam itu. Sebab selalu ada celah sehingga praktik semacam itu terbaca dengan jelas. Sehebat apapun elite politik dalam menyembunyikan agenda terselebung dan demi syahwat politik kekuasaan yang begitu akut, pasti akan dengan mudah bagi publik untuk menelisik dan membacanya bahkan bisa menatapnya secara gamblang. 

Demokrasi memang dalam praktiknya kerap dipoles dengan berbagai diksi yang seakan-akan wah dan tentu saja yang utama adalah mantra demi rakyat, padahal isinya adalah kepalsuan. Jangan kan janji politik untuk publik, bahkan antar mereka sendiri pun saling sikat dan sikut. Semuanya demi trah dan kelompok yang senyawa dengan syahwatnya.

Bila pesta politik dibangun di atas dasar kepentingan syahwat dan menepikan kepentingan publik, maka pesta politik apapun sejatinya hanyalah pesta omong kosong. Sebab pada intinya hanya permainan dan manipulasi elite, dengan melibatkan publik yang pada substansinya hanya dimanfaatkan secara sesaat pada momentum pesta politik. 

Naifnya pesta politik yang diselenggarakan berkali-kali dengan menghabiskan biaya yang fantastis, hasilnya hanya pesta sekaligus akumulasi kekesalan. Bila elite sibuk memamer janji dan saling cakar karena merebut kue kekuasaan, maka pemilih sibuk saling caci maki dan menebar informasi hoax, yang sama hoaxnya dengan para elite yang gemar ingkar janji itu. 

Demokrasi semacam itu pasti mengingkari ketuhanan, menepikan kemanusiaan, menafikan persatuan, menggeser permusyawaratan dan nihil keadilan. Singkatnya, demokrasi semacam itu sangat jauh dari lima sila dasar negara: Pancasila. Bahkan kadang Pancasila disalahgunakan atau dipahami secara norak demi mencapai target syahwat politik.  

Demokrasi pun mati di tangan pembela dan pemujanya sendiri. Demokrasi yang diperjuangkan dan dipamer di berbagai momentum kerap berjarak dari kredo awalnya. Bila awalnya oleh, dari dan untuk rakyat, maka belakangan menjadi oleh, dari dan untuk elite sekaligus kelompoknya. Praktik demokrasi pun tidak sesuai dengan Pancasila lagi, sebab ia dipraktikkan secara serampangan. Benar-benar demokrasi tahi ayam! (*)


* Judul tulisan 
DEMOKRASI TAHI AYAM! 

Oleh: Syamsudin Kadir 
Penulis artikel di berbagai Media Massa dan Media Online 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Alasan Memilih Muhamad Salahudin Pada Pileg 2024

Mengenang Mama Tua, Ine Jebia

Jadilah Relawan Politik Tanpa Mahar!