PUBLISH OR PERISH! 

KETIKA masa kuliah di UIN Sunan Gunung Djati Bandung (UIN SGD Bdg) tahun 2000-an saya kerap mendengar ungkapan yang sangat provokatif, yang membuat saya menjadi semakin cinta dengan aktivitas kepenulisan. 

Apa itu? Publish or Perish. Padahal saya bukan penulis, tapi merasa selalu tertampar dan terprovokasi dengan ungkapan tersebut. Tamparannya keras, provokasinya deras. Bukan sekali tapi berkali-kali. 

Ya, dalam dunia akademis dan kepenulisan, perkataan, Publish or Perish, kerap “memanasi” telinga banyak orang, termasuk saya dan mungkin juga Anda. Iya, kan? Tapi ini panasnya beda dari yang lain. Panasnya bikin semangat menulis semakin menjadi-jadi. 

Intinya sederhana : terbitkan gagasan kita atau kita lenyap begitu saja. Maka, menulis buku, novel, artikel, essay, puisi dan serupanya, misalnya, memiliki nilai eksestensial tersendiri, yang membuat penulisnya merasa lebih hidup bermakna atau bermakna dalam hidupnya.

Karena menulis dapat memberi efek semacam itu, maka menulis menjadi sebuah agenda prioritas. Itulah yang kita perlu tanamkan dalam hati dan pikiran kita ketika menyebut dan menempatkan aktivitas menulis sebagai passion kita. Tentu apapun latar belakang dan profesi kita. 

Gairah atau semangat kita dalam menulis akan menuntun kita pada situasi yang berdarah-darah, yaitu bahwa kita harus berusaha ekstra keras demi menulis hingga menerbitkan karya tulis kita apapun bentuk atau jenisnya : buku, novel, artikel, essay, puisi dan serupanya.

Oke, sekadar mengingatkan, dalam kata passion sendiri terdapat 2 makna yang saling bertolak belakang. Yang sering mampir pertama kali dalam benak siapapun ketika mendengar kata passion adalah sebuah semangat luar biasa yang menggerakan seseorang, membuat seseorang seolah jatuh cinta sangat mendalam.

Namun demikian, passion juga berarti derita, derita yang hebat, yang kadang tidak tertahankan di mata orang yang menyaksikan. Passion sendiri merupakan bentukan dari bahasa Yunani, pathos, dan diteruskan dalam bahasa Latin, passio yang berarti “sakit”.

Jadi, saya dapat katakan bahwa jika menulis sebagai passion, maka ia akan: Membiarkan diri kita bekerja sangat keras, Membiarkan diri kita terombang-ambing dalam imajinasi kamu sendiri, Membiarkan diri kita menulis mati-matian, dan Membiarkan diri kita mengoreksi tulisan kita sendiri hingga larut malam.

Dari “derita” yang keras itu, muncul-lah endorphin, yang jadi gairah kita dalam menghadirkan tulis atau menulis dan menyelesaikan karya tulis kita hingga akhir, atau mewujud dalam bentuk karya nyata. Bentuk dan jenisnya banyak. Sesuai selera dan kemauan kita sendiri. 

Zadie Smith, seorang novelis Inggris, pernah ditanya tentang seberapa jauh passion menulis itu telah mengubah hidupnya secara masif dan berpengaruh besar untuk waktu jangka panjang. Ia mengatakan, “Menulis mengajak ia untuk undur diri, ke dalam kesedihan mendalam yang lahir dari keadaan tak terpuaskan.”

Ia menambahkan, “99 persen bakat, 99 persen kedisiplinan, dan 99 persen kerja keras! Ia tidak boleh berpuas diri terhadap apa yang saya capai.” Sebuah ikhtiar yang seimbang. Terutama bila kita sadar, bahwa taruhannya besar : menulis, atau lenyap belaka!

Passion akan mengajak kita berjalan jauh, sangat jauh. Tapi biar bagaimana pun, kita akan sangat puas. Teruslah menulis, dan jangan menanti tulisan kita seideal yang kita mau, atau seideal yang pembaca mau. Mengapa? Sebab, kelamaan menanti yang ideal justru membuat kita tidak segera menulis alias mengurungkan niat kita untuk menulis.

Seorang novelis dan penulis skenario terkenal AS, Stepen King pernah mengatakan: “Seorang penulis yang menunggu kondisi ideal untuk mengerjakan tulisannya, akan mati tanpa menuangkan satu huruf pun.”

King adalah contoh nyata yang sangat bagus dalam soal semangat menulis. Ia begitu semangat dalam menulis sehingga punya karya-karya yang dinikmati oleh pembaca di seluruh penjuru dunia. Uniknya, ia termasuk yang punya pemahaman bahwa menulis tidak perlu karena adanya bakat.

“Kalau ada yang disebut bakat, itu adalah sebuah ketekunan yang membuat orang mau duduk berlama-lama di depan mesin tik dan menuangkan ceritanya, tak peduli itu bagus atau tidak”, ungkap penulis 56 novel, puluhan buku kumpulan cerpen dan komik ini.

King memang tidak secara otomatis menghasilkan karya yang spektakuler. Sebelum novel pertamanya berhasil terbit (Carrie, novel pertamanya, terbit 5 April 1974), ia mengalami penolakan puluhan kali dari bermacam-macam agen dan penerbit.

Namun ia tak patah semangat. Semua surat penolakan itu ia simpan baik-baik. Bahkan setiap surat yang ia dapatkan itu, ia tempelkan ditembok dalam rumahnya, sehingga ia dengan mudah melihat kembali, dan berusaha untuk memperbaiki sekuat tenaga.

Lagi-lagi itulah passion. Passion-nya untuk menulis telah menghasilkan sebuah kedisiplinan yang tiada tara. Ia mengalokasikan waktu yang sangat banyak setiap harinya untuk menulis. Siapapun bakal tergoda untuk menulis sebelum tidur dan makan. 

Dan, ketika King menulis, ia akan masuk kamar, mengunci dirinya, dan mengusahakan kamarnya steril dari aneka gangguan. Di dalam, ia tidak akan bersantai atau menunggu inspirasi menulis. Yang ia lakukan adalah menulis apa yang terlintas di pikirannya, apapun itu.

Ada ungkapan King yang layak kamu baca dan renungi secara mendalam: “Jika selama sepekan tidak ada satu buku pun yang Anda baca, dan tak ada satu pun tulisan yang Anda buat, maka lupakan cita-cita Anda untuk menulis!”

Richard St. Cross, dalam bukunya 8 To Be Great, mengatakan, orang yang didorong oleh passion akan mau melakukan hal yang ia sukai itu, bahkan mesti ia tidak menerima bayaran sepeser pun.

Jika menulis adalah passion kita, sungguh dia akan mengubah habis-habisan gaya hidup kita. Dari orang yang kerap melewati waktu tanpa aktivitas, menjadi orang yang selalu mengisi waktu dengan hal-hal yang bermanfaat, termasuk dengan menulis.

Ketika menjadi panelis bersama saya di Workshop Jurnalistik yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Sejarah Peradaban Islam Institut Agama Islam Negeri Syekh Nur Jati (SPI IAIN SNJ) Cirebon-Jawa Barat, pada Kamis, 12 Februari 2015 lalu, Pak Zaenal Masduqi, pernah mengungkapkan: “Menulis memang bukan bakat bawaan sejak lahir. Namun kita semua memiliki peluang untuk menulis bahkan menjadi penulis. Sebab menulis adalah aktivitas yang dapat ditekuni.”

Selanjutnya, tanpa meragukan semangat kita semua dalam menulis, saya perlu berpesan : Tetaplah menulis, meskipun kita tak dibayar dan tidak terlihat menjadi orang kaya. Karena menulis dan punya karya tulis itu sendiri adalah kekayaan luar biasa. Bila serius dan benar-benar hendak menghasilkan karya tulis, upayakan untuk tidak tidur dan makan kecuali setelah tuntas menyelesaikan sebuah tulisan. 

Sekarang, pilihan ada pada diri kita masing-masing, Publish or Perish? Saya sendiri memilih “Publish”, entah apakah kelak dikenang sebagai penulis atau tidak, itu tidak penting. Sebab yang penting, sebagai orang kampung dan anak orang kampung, saya telah melakukan apa yang saya mau dan suka : menulis dan menulis. Mudah-mudahan diantara pembaca ada yang terprovokasi dan semakin terprovokasi! (*)


* Judul tulisan 
PUBLISH OR PERISH! 

Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis 27 buku dan ribuan artikel di berbagai media massa dan media online. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Alasan Memilih Muhamad Salahudin Pada Pileg 2024

Mengenang Mama Tua, Ine Jebia

Jadilah Relawan Politik Tanpa Mahar!