JANGAN JADI POLITISI YANG NYEBELIN!

MEMBINCANG praktik korupsi di Indonesia memang sangat melelahkan dan meresahkan. Lelah, sebab hampir setiap pemberitaan di berbagai media massa bisa dipastikan terdapat pemberitaan mengenai korupsi. Meresahkan, sebab uang yang dikorupsi oleh para koruptor itu telah membuat pembangunan di berbagai sektor kehidupan semakin tertatih-tatih.

Yang teranyar adalah kasus suap yang melibatkan 38 anggota DPRD Sumatera Utara periode 2009-2014 dan 2014-2019, serta kasus korupsi yang melibatkan 41 anggota DPRD Kota Malang, Jawa Timur. Suatu peristiwa yang sangat biadab dan meresahkan seluruh elemen bangsa yang selama ini terus menerus menggaungkan wacana anti korupsi di berbagai forum dan momentum.

Sebagaimana dilansir di berbagai media massa beberapa waktu terakhir, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo mengatakan kasus suap yang melibatkan 38 anggota DPRD Sumatera Utara periode 2009-2014 dan 2014-2019 merupakan bentuk korupsi massal. Ke-38 politisi tersebut diketahui menerima suap dari mantan Gubernur Provinsi Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho. Suap itu terkait persetujuan laporan pertanggungjawaban Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk Tahun Anggaran 2012-2014 oleh DPRD Sumut, Persetujuan Perubahan APBD Provinsi Sumut Tahun 2013-2014 oleh DPRD Sumut. Kemudian terkait pengesahan APBD Sumut Tahun Anggaran 2014-2015 dan penolakan penggunaan hak interpelasi anggota DPRD Sumut pada 2015.

Para tersangka disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP karena memanfaatkan kewenangan mereka sebagai pintu untuk kong kalikong dengan pihak eksekutif, dalam hal ini Gatot selaku gubernur.

Kasus korupsi semacam ini dilakukan secara massal dengan memanfaatkan pelaksanaan fungsi dan kewenangan legislatif, sebagai pintu yang membuka peluang terjadinya kong kalikong antara eksekutif dan legislatif yang bertujuan untuk mengamankan kepentingan masing-masing, atau mengambil manfaat untuk kepentingan pribadi ataupun kelompoknya.

Berikutnya, kasus korupsi DPRD Kota Malang, Jawa Timur. Pada kasus ini disinyalir akan melumpuhkan pembangunan di Kota Malang. Hal itu paling tidak bisa dipahami pasca penetapan tersangka terhadap 22 anggota DPRD Kota Malang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus suap pembahasan APBD-P Kota Malang tahun anggaran 2015 pada Senin (3/9/2018).

Dengan ditetapkannya 22 anggota DPRD Kota Malang sebagai tersangka, maka total anggota DPRD Kota Malang yang terseret dalam kasus suap itu sebanyak 41 orang. Satu orang yakni Moch Arief Wicaksono sebagai Ketua DPRD Kota Malang sudah menjadi terpidana. Sedangkan 18 orang lainnya masih menjadi terdakwa dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Surabaya.

Praktis yang tersisa hanya lima anggota DPRD Kota Malang, yakni Abdurrochman (PKB), Subur Triono (PAN), Priyatmoko Oetomo (PDI-P) dan Tutuk Haryani (PDI-P). Ditambah satu lagi anggota dewan hasil PAW dari Yaqud Ananda Gudban yang sudah menjadi terdakwa, yaitu Nirma Cris Desinidya (Hanura).

Selain menetapkan 41 anggota DPRD Kota Malang, KPK juga telah menetapkan Wali Kota Malang nonaktif Moch Anton dan eks Kadis PU dan Pengawasan Bangunan Kota Malang tahun 2015, Jaroy Edy Sulistiyono sebagai tersangka. KPK menyebut kasus ini sebagai korupsi massal.

Dari kedua kasus korupsi di atas dan kasus korupsi lainnya baik di berbagai daerah maupun yang disangkakan kepada Mantan Sekretaris Jenderal Golkar sekaligus Menteri Sosial Idrus Marham beberapa waktu lalu membuat kita semakin marah dan tak percaya kepada para politisi. Para elite politik yang mestinya menjadi pemikul penderitaan dan teladan kebaikan bagi rakyat, justru menjadi pelaku tindakan biadab secara massal: korupsi.

Rakyat pun serasa lebih pantas menderita di atas praktik kanibalisasi dan keserakahan para elite politik itu. Ini mungkin ungkapan yang terus terngiang di benak para koruptor itu. Memperhatikan berbagai masalah seperti keterbelakangan, kemiskinan, pengangguran membanjir, minimnya lapangan kerja, diskriminasi pendidikan dan berbagai masalah yang dihadapi rakyat biasa muncul justru karena keserakahan elite politik-nya dengan praktik korupsi massal. Para koruptor itu melakukan praktik korupsi sembari mempidatokan kata-kata yang akhir-akhir ini nyaris tercemari secara massal pula, misalnya, kami Pancasila, kami toleran, kami pro rakyat, kami berpolitik demi rakyat banyak dan ungkapan lain yang kehilangan autentitasnya. Suatu bentuk pidato yang manipulatif dan norak serta tak layak kita dengar.

Mental korup yang bersarang pada diri elite politik menjadi batu sandungan pemberantasan korupsi yang layak kita lawan sampai kita menang. Upaya Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menghambat para mantan narapidana korupsi, misalnya, hanyalah upaya kecil untuk mengamini nurani publik yang hingga kini masih menyuarakan perlunya pembatasan ruang gerak bagi para mantan narapidana korupsi di panggung politik.

Betul bahwa mereka punya hak politik. Namun hak yang mereka miliki justru secara moral terkotori oleh tindak tanduk mereka sendiri. Kalau para mantan narapidana korupsi dan para koruptor itu masih membela dan memaksakan diri, kita cukup bilang begini: makanya jangan jadi politisi busuk alias politisi yang nyebelin! (*)


 * Tulisan ini pernah dimuat pada halaman 10 Kolom Opini Koran Fajar Cirebon edisi Senin 10 September 2018. Judul "JANGAN JADI POLITISI YANG NYEBELIN!" Oleh Syamsudin Kadir, Pendiri Komunitas "Cereng Menulis".



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selamat Datang Dr. Mu'tashim, Pendekar Hadits Lulusan Sudan Asal NTT

Belajar Sukses Kepada Dr. Verdi Yasin

BIARKAN SURAT KABAR JADI SAKSI!