COVID-19 DAN KEBISUAN KITA
ANGGARAN Rp 405,1 Triliyun sudah disahkan untuk Covid-19, tetiba muncul New Normal. Seketika. Tak pakai lama. Biasanya ulur-ulur waktu. Tapi kini mendadak bisa. Dan seperti biasa, sekadar ramai di awal. Ujungnya diam-diaman. Sepi. Alias bisu.
Lalu, warga biasa pun bertanya dengan tulus tanpa sedikit pun kehendak mendapatkan bagian dari anggaran sebesar itu. Anggaran segitu besar mau diapakan atau mau dikemanakan? Masih adakah ruang bagi warga untuk sekadar mengkritisi kebijakan yang begitu boros? Apakah tidak ada masalah yang lebih urgen dari Covid-19 yang bisa ditanggulangi oleh pola hidup bersih dan disiplin kerja?
Mana legalitasnya bermuatan poin-poin karet lagi, yang tentu sangat terbuka lebar ruang bagi penyelewengan di sana-sini. Ditambah lagi dengan mekanisme pengawasan yang lemah. Semua bakal terbuka peluang untuk carut marut. Karena diduga ada unsur kesengajaan, agar penyelewengan tak dianggap apa-apa. Hanya hal biasa-biasa saja.
Ya konon bahkan pelanggaran atau penyelewengan atas penggunaan anggaran ini tak bisa dipidana alias bebas dari delik hukum. Tak ada pengguna anggaran yang bisa dipenjara gegara menyalahgunakan anggaran sebesar itu demi kepentingan pribadi dan kroninya. Sebab pada anggaran yang ada pengawasan ketat pun tetap saja ada perampok anggaran yang main.
Pada kondisi demikian, ke mana DPR yang cuma diam tak bersuara apa-apa? Ke mana pula media massa yang terkesan mati kutu? Ke mana pula LSM anti mafia anggaran yang nyaris tak berkutik? Dan ke mana pula gerakan mahasiswa dan kalangan kampus yang konon independen dan bernyawa moralitas namun bisu tak berkata apa-apa?
Ya siapapun menjadi bisu tak mengeluarkan kata apapun. Seakan-akan semuanya tak ada masalah, tak ada hal urgen yang layak dikritisi. Semua benar-benar diam alias bisu. Seperti di sebuah gua gelap tak ada penerangan. Semua hanya bersimpu dalam diam. Suasana sepi. Hening. Mulut seakan terkunci dan tak ada yang berani bersuara.
Tapi ini bukan tentang Indonesia. Dan bukan di Indonesia. Kalau ada kemiripan angka dan latar, itu mungkin kebetulan saja. Entah mengapa ada kemiripan. Tak ada soal juga tentang itu. Biarkan saja. Toh setiap kisah punya latar dan senyawanya masing-masing. Semua ada kekhasan. Tak bisa disama-samakan, walaupun mungkin sama persis.
Ya, tapi ini tentang negeri dalam sebuah kisah panjang, yang ditulis dalam sebuah novel sejarah. Negeri yang elitenya ditopang oleh berbagai elite lintas latar belakang dengan jutaan kepentingan kelompoknya. Negeri yang kaya raya atau alamnya berlimpah sumber daya alam namun warganya masih saja dirundung kelaparan.
Naifnya, mereka para elite itu bertopeng negara, padahal nyatanya malapetaka. Mereka kerap bernyanyi atas nama dan untuk juga demi negara. Entah negara apa yang mereka maksud. Mungkin saja negara yang digerogoti para mafia berbagai proyek dan perampok anggaran. Negara para durjana. Itu mungkin.
Warga biasa? Mereka masih dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Bukan saja masalah perut yang mereka alami, mereka pun masih tinggal di tempat-tempat reot. Mungkin ada tempat berteduh, itu pun kerap dibanjiri hujan dan banjir. Ada yang mengontrak rumah, bayarannya melampau kemampuan dan isi dompet.
Nasib ya nasib. Warga sekadar bertapa dan menangis dalam kondisi papa. Kadang terpaksa menganggukan kepala karena dipaksa oleh janji manis para politisi bebal itu. Mereka datang dengan diksi dan janji manis. Semua seakan menjadi ratu adil. Namun di saat mereka terpilih, mereka bagai benalu. Ya janji tinggal janji. Semua sekadar basa-basi. Warga pun selalu dikorbankan demi syahwat kuasa yang diinginkan para elite dan kroninya.
Tapi sekali lagi, semua tetap bisu. Mereka yang semestinya bersuara atas nama dan untuk rakyat malah ikut mengetok palu agar agenda palsu dilegalkan menjadi acara penting negara. Semua benar-benar berdiam seribu bahasa. Semua bisu. Termasuk untuk sekadar bersuara tentang kekonyolan seputar anggaran untuk menanggulangi Covid-19 itu.
Seorang teman pun sempat mengajak ngobrol tentang banyak hal. Berbagi cerita dan informasi A1. Bukan satu judul tapi banyak judul. Dari yang serius hingga yang sederhama. Sesekali tertawa dan tersenyum. Kadang juga tegang. Di sela-sela itu muncul ungkapan sederhana: ini bukan sekadar pertunjukan bebal tapi juga norak. Untungnya ini bukan di Indonesia! (*)
* Judul tulisan
COVID-19 DAN KEBISUAN KITA
Oleh: Syamsudin Kadir
Pendiri Komunitas "Cereng Menulis"

Komentar
Posting Komentar