BUDAK COVID-19

SEJENAK merenung sembari berbicara apa adanya. Tentang apa yang terjadi di sekitar kita. Menengok Covid-19 dan segala hal yang terjadi di sekitarnya. Langsung saja. Tak usah nanti dan pakai lama. Kalau Covid-19 konon benar-benar bisa dicegah dengan masker, jaga jarak dan hidup bersih serta berdiam di rumah, lalu mengapa mesti pakai anggaran Rp 405,1 T segala? 

Mengapa pula Covid-19 diistimewakan oleh hampir semua kalangan di seluruh dunia, sementara penyakit lain tak dihadapi secara gegap gempita seperti Covid-19? Apakah mereka yang sakit jenis lain seperti TBC, Stroke, Muntah-Berak alias Muntaber dan sebagainya tak dianggap mematikan? 

Berikutnya, bila disuatu daerah warga yang kena Covid-19 hanya beberapa orang, mengapa dengan begitu mudah di daerah tersebut mengalokasikan anggaran begitu besar untuk Covid-19 sementara kepentingan pembangunan aspek lain seperti infrastruktur, fasilitas pendidikan dan sebagainya dikesampingkan? 

Begitulah sebagian pertanyaan yang sempat dihimpun beberapa waktu terakhir. Sengaja diungkap secara terbuka karena terus terngiang dalam benak. Daripada menimbulkan penyakit lebih baik diungkap saja. Sepertinya memang tak sedikit orang yang seakan-akan sudah menjadi budak Covid-19. Mengikuti semua apapun yang diinginkan si tuan. 

Naifnya, seperti tak ada yang bersuara. Minimal untuk sekadar bertanya atau protes ini itu. Mungkin ada, namun tak banyak. Suara kritis pun mungkin dianggap asing. Lembaga negara yang mestinya menjadi penyambung lidah rakyat hanya mampu menganggukkan kepala. Sembari itu melantunkan lagu "Setuju". 

Rakyat yang konon dikasih bantuan ini itu pun dibuat diam alias terbungkam. Tak ada suara. Memilih diam. Semua menjadi bisu. Seakan-akan semuanya aman dan tak ada persoalan apa-apa. Membincang soal sesuatu yang dianggap perlu pun menjadi sesuatu yang asing. Bahkan mungkin dianggap gila. 

Penciuman sebagian kalangan perihal ada permainan di balik Covid-19 pun seperti ada benarnya. Bukan permainan lokal dan nasional, tapi global. Perang dagang, rebut produksi vaksin dan berbagai macam hal. Intinya negara yang tak berdaulat dibuat jadi budak juga. Mesti mengikuti komando ini itu. Ujungnya nanti vaksin mesti dibeli dari lembaga anu atau negara anu. 

Pada skala dalam negeri, pertanyaan lain pun muncul. Bila kelak anggaran Rp 405,1 T itu diselewengkan, apakah mereka yang menyelewengkan dapat dijerat hukum lalu dipenjara? Atau bila tidak, apakah kita boleh bertanya minimal dengan satu pertanyaan sederhana: Pak, Anggaran dan Dana Bantuan untuk Covid-19 di mana dan mau dibawa ke mana? (*)


* Judul tulisan 
BUDAK COVID-19

Oleh: Syamsudin Kadir 
Pendiri Komunitas "Cereng Menulis"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Alasan Memilih Muhamad Salahudin Pada Pileg 2024

Mengenang Mama Tua, Ine Jebia

Jadilah Relawan Politik Tanpa Mahar!