ANTI PKI MESTI PAKAI OTAK? 

KALI ini saya mendapat foto baju kaos bertuliskan "Saya bangga jadi musuh PKI" pada sebuah akun facebook. Melihat dan membacanya seru juga. Jadi tambah penasaran sama PKI dan isme daganganya. Termasuk penasaran dengan para pengasongnya. Bukan saja dengan cara membaca buku dan berbagai bacaan lainnya lagi, tapi juga menelisik strategi dan pola kerja para pengasongnya. 

Saya memilih demikian, biar saya tidak reaktif kepada isu PKI dan komunisme dengan cara atau tingkah yang melampaui batas. Karena di sebagian kalangan sering kali sikap antipati dilakukan secara membabi buta. Panas-panas tahi ayam. Lebih parah lagi, konon menjual isu "tidak suka PKI" kalau tak dapat kue. Kalau dapat kue sih langsung diam saja. Sekadar isu musiman. Mirip pola PKI zaman dulu. Lalu, kalau begitu apa bedanya PKI dengan yang antipati dengan PKI?   

Sekadar mengingatkan kembali, dulu Aidit juga dukung Pancasila. Akrab dengan banyak tokoh yang berseberangan dengan PKI. Bahkan dia akrab dengan Bung Karno. Suka minum kopi dengan siapa saja. Bahkan ia dan pengikutnya getol mengatakan: Aku Pancasila. Selanjutnya dia ingkari dengan melakukan pemberontakan bersama para pengikutnya. Walaupun kelak dia gagal, tapi begitulah potongan kisahnya. 

Sepaham saya dari berbagai referensi, PKI itu hanya salah satu wadah saja. Wadah yang berwajah partai politik. Tapi sebagai sebuah isme, komunisme bisa masuk ke sektor atau bidang apa saja. Apapun bentuknya, bisa saja isinya komunisme. Wadah dan wajahnya banyak. Silahkan baca secara seksama sejarah pemberontakan PKI pada 1948 dan 1965.  

Isme itu sendiri bersemayam dalam pikiran melalui proses pendalaman dan bisa juga interaksi literatur. Dan mungkin juga tokoh panutan lintas latar belakang. Proses semacam itu berikutnya dipublikasi di ruang publik menjadi diksi dan narasi lalu menjadi pandangan atau perspektif tertentu dalam banyak bungkus. Wujudnya bisa beragam, tapi isinya tetap satu: komunisme. 

Bila ditelisik dari sudut itu maka komunisme bukan sekadar organisasi dalam wajah partai politik seperti PKI. Tapi juga dalam banyak wadah sekaligus wajah. Bahkan bukan saja organisasi tapi juga dalam bentuk produk ilmiah atau kreatifitas seperti buku-buku. Isme semacam itu berkembang biak dan bermetamorfosa dalam banyak bentuk. Bukan sekadar PKI seperti yang disuarakan oleh sebagian kalangan.  

Sebagai pengasong, mereka yang gandrung pada isme yang konon berseberangan dengan Pancasila itu tentu punya banyak strategi dan pola yang dipakai dalam menjual dagangannya. Pewajahan dalam konteks publik tentu tak setolol dan semudah yang dibayangkan. Bahasa krennya, bermain cantik. Diksi dan pembahasaannya juga yang mudah dicerna publik. Tidak seperti sebagian paket narasi kaum agamawan yang kadang bikin pusing pendengar.  

Pengasong komunisme berpikir panjang untuk menggunakan partai politik seperti di era lama. Sebab bila bentuknya partai politik pasti mendapat penolakan dari berbagai kalangan. Walaupun menolaknya juga kerap tidak menyentuh substansinya. Bukan sekali tapi berkali-kali. Sekadar menyebut aksi ril PKI yang teringat yaitu tahun 1948 dan 1965. Sejarahnya sangat dramatis dan mesti dibaca oleh generasi sekarang dan yang akan datang. 

Dalam konteks komunisme, pengasong era baru, yang mungkin masih tangguh, pasti membaca sejarah para pendahulunya. Sebab bila ditebar melalui wadah atau wajah lain, belum ada yang serius melakukan penolakan. Maka bisa-bisa dibuatlah banyak bungkus. Mungkin bahasa anak gaulnya topeng. Bikin topeng sebanyak-banyaknya. Namanya usaha, ya semua cara dipakai. Sederhana saja, yang penting dagangan laku. 

Pengasong yang gagah berani dan revolesioner tentu paham bentuk bagaimana langkah yang diambil untuk memuluskan jualannya di pasar bebas di era baru. Hanya pengasong yang dungu yang gagal di awal episode dan tak mau membaca situasi. Kalau yang sudah level pengasong yang mau naik daun jadi pejuang, bisa jadi lebih kreatif. Misalnya dibentuk beragam wadah dengan variasi wajah yang pro publik, tapi isinya tetap satu: komunisme. 

Sudah, saya cukupkan dulu. Di lain waktu saya menulis lagi dengan tema yang sama tapi dengan fokus yang berbeda dan lebih menarik. Kalau ada yang tak setuju, silahkan bikin tulisan baru yang lebih bermutu. Biar tidak sekadar ngoceh tanpa memberi makna apa-apa. Saya siap membaca tulisannya. Benaran, saya siap membaca tulisannya. 

Selebihnya, tulisan ini jangan dibaca serius, nanti malah jadi tegang. Biasa dan santi saja bacanya. Membacanya tak perlu sambil memegang kening atau dagu. Bacalah sambil meneguk kopi manis hangat. Ajak ngopi juga tetangga yang berbeda pandangan. Mereka yang masih tertarik untuk mendalami PKI dan komunisme juga diajak ngopi. Agar antipati pada PKI tidak sekadar hangat-hangat tahi ayam dan tidak seperti pernyataan sekaligus pertanyaan seorang teman, "Anti PKI mesti pakai otak?" (*)

* Judul tulisan 
ANTI PKI MESTI PAKAI OTAK? 

Oleh: Syamsudin Kadir 
Pendiri Komunitas "Cereng Menulis"


Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Alasan Memilih Muhamad Salahudin Pada Pileg 2024

Mengenang Mama Tua, Ine Jebia

Jadilah Relawan Politik Tanpa Mahar!