MARI MEMBACA, MENGEJA SEJARAH! 

DALAM beberapa waktu terakhir saya kerap ditanya oleh beberapa pembaca perihal modal saya dalam tulis-menulis. Hal ini disampaikan terutama karena hampir setiap hari saya selalu menulis beberapa artikel lepas yang saya share ke berbagai media online dan media sosial, di samping koran juga majalah. 

Menjawab pertanyaan ini tentu idealnya membutuhkan jawaban yang teoritis dan lebih ilmiah. Tapi karena saya tidak berprofesi sebagai penulis, sehingga tak begitu paham banyak teori kepenulisan, saya pun menjawab sebisanya saja. Tentu sesuai dengan pengalaman saya selama ini. 

Seingat saya, modal utama saya selama ini adalah membaca. Jujur saja, saya terbiasa membaca buku dan tulisan lepas karya orang lain, termasuk membaca fenomena di sekitar dan di luar sana. Bahkan saya juga suka membaca tulisan dan status orang di berbagai media sosial. Minimal untuk menambah perspektif atau juga sebagai pembanding perspektif saya perihal beberapa isu tertentu, yang bisa jadi perspektif saya masih dangkal dan perlu perbaikan juga pematangan. 

Saya memahami bahwa membaca adalah kunci ilmu pengetahuan dan pematangan wawasan. Dampaknya adalah kekayaan perspektif dalam memahami sesuatu. Begitu banyak jenis bacaan yang bisa saya baca setiap hari. Bahkan kadang sehari hanya tidur 2 sampai 3 jam saja. Beruntungnya, rerata berbagai tulisan bisa saya peroleh dengan mudah secara online, di samping untuk mendapat buku di berbagai toko buku, sehingga saya bisa membaca banyak buku.

Satu hal yang memudahkan saya lagi adalah saya memiliki perpustakaan buku pribadi dengan jumlah buku, untuk sementara, baru sekitar 5.000-an eksamplar buku. Sebetulnya ada sekitar 10.000-an eksamplar buku, namun karena lemari masih kurang dan dalam waktu terakhir saya masih melakukan penertiban kode administrasinya, sekitar 5.000-an eksamplar buku pun masih tersimpan dalam kardus. 

Di perpustakaan buku yang terletak di ruang tamu rumah inilah ribuan buku itu saya simpan. Hampir setiap hari saya, istri dan anak kami berlomba-lomba membaca buku. Selain membaca seperti biasa, saya pun kerap mengajak keluarga kecil saya untuk berlomba-lomba membaca buku. Dampaknya lumayan juga. Walau lelah, tapi seru dan bikin ketagihan juga. 

Dari membaca saya semakin paham bahwa ada begitu banyak tokoh yang terkenang dalam sejarah dengan segala jasa dan jejak kontribusinya bagi kemanusiaan, karena pengaruh membaca, tepatnya pengaruh buku yang dibaca. Mereka menjadikan membaca sebagai tradisi utama bahkan kebutuhan hidup. 

Dalam kontek Indonesia, saya sekadar menyebut diantara tokoh yang cukup terkenang adalah Soekarno (Bung Karno) dan Mohammad Hatta (Bung Hatta). Dalam buku berjudul "Mereka Besar Karena Membaca" (2016) Suherman mengisahkan dan menjelaskan secara apik bagaimana  para tokoh membangun tradisi baca dan tulis dalam kehidupan dirinya, termasuk dalam keluarganya. 

Bung Hatta, misalnya, punya tradisi membaca 3 sampai 7 jam perhari. Begitu juga untuk menulis. Beliau menyediakan waktu khusus, kadang 3 sampai 4 jam per hari. Diantara buku karya Bung Hatta, sekadar menyebut salah satunya, yang bisa kita baca hingga saat ini adalah "Untukmu Negeriku". Ini adalah salah satu buku yang saya suka. Penjelasannya runut dan menarik.   

Ya, dalam catatan sejarah pun bisa kita baca bagaimana Bung Hatta menulis setiap hari dalam beragam tema. Bahkan dalam beragam bahasa. Bukan saja dalam bahasa Indonesia, tapi juga dalam bahasa Belanda, Inggris, Jerman dan sebagainya. Tak salah bila beliau menjadi salah satu proklamator kemerdekaan Indonesia dari sekian abad penjajahan para penjajah. 

Bung Karno juga begitu. Beliau membaca buku dalam beragam bahasa. Dalam waktu yang tak berbeda dengan Bung Hatta. Bahkan di saat diasingkan di Ende, NTT, beliau menyempatkan diri untuk membaca ratusan judul buku, di samping menulis ratusan tulisan dalam beragam bahasa dan dalam banyak tema. Satu kenangan yang cukup inspiratif dan layak kita tiru di era ini. 

Bahkan dialog dan perdebatan dengan A. Hasan, sang tokoh Persatuan Islam (Persis) pun dilakoni dari dalam penjara, dalam bentuk tulisan. Mereka pun menjadi narator dialektika Islam dan Negara dalam masa yang cukup panjang menjelang kemerdekaan, sebagaimana juga antar Bung Karno dan Mohammad Natsir, sang tokoh Masyumi.  

Pak Natsir yang menguasai belasan bahasa itu terbiasa membaca lebih dari 5 buku dalam sehari. Buku-buku yang dibaca tidak dalam satu bahasa, tapi dalam banyak bahasa. Tema yang menjadi fokus pembahasan dari buku yang dibaca pun begitu beragam. Sehingga beliau termasuk salah satu tokoh yang multi perspektif atau kaya pandangan untuk banyak isu dan tema. 

Selain membaca, Pak Natsir juga menulis ratusan buku. Sekadar menyebut sebagiananya, misalnya, "Percakapan Antar Generasi", "Islam dan Negara", "Kebudayaan Islam", dan masih banyak lagi, di samping ratusan artikel yang pernah dimuat di berbagai surat kabar dan majalah lokal, nasional dan internasional. 

Dari membaca, kalau ditelisik dari kisah para tokoh, maka saya dapat menyimpulkan bahwa diantara penyebab mereka menjadi tokoh besar adalah karena gila baca dan gila tulis. Karena mereka sadar betul bahwa kedua tradisi ini adalah tradisi lelaki sejarah, tradisi para penentu maju atau bangkitnya sebuah peradaban, tak terkecuali di Indonesia. 

Agaknya saya agak naif manakala saya hanya pandai mengenang para tokoh dengan menyebut secara berbusa-busa nama mereka di berbagai momentum, tapi tak berhasrat untuk membangun tradisi baca-tulis sebagaimana yang sudah ditradisikan oleh para tokoh itu. 

Demi masa depan dan sejarah baru, saya mesti bertransformasi. Dari sekadar menjadi penyebut nama tokoh menjadi penikmat sekaligus pelanjut tradisi tokoh. Bahwa baca dan tulis adalah modal besar para tokoh dalam membangun sejarah, maka saya juga perlu banyak membaca dan menulis, sebagai narator baru sekaligus pelanjut sejarah di era baru. 

Selain sebagai penambah ilmu pengetahuan dan wawasan, membaca dan menulis juga merupakan upaya pewarisan narasi dan karya kepada generasi baru yang akan datang. Saya mesti mampu mewariskan gagasan naratif dan karya monumental, sehingga generasi baru di masa depan punya skema dan stok referensi dalam membaca realitas dan sejarah baru bahkan dalam membangun peradaban baru.

Sebagai upaya memotivasi atau menyemangati sesama anak bangsa, saya mengajak siapapun di luar sana : mari mencicil stok semangat dan kesungguhan untuk membangun tradisi baca dan tulis pada diri kita. Termasuk dalam keluarga kita dan masyarakat di sekitar kita, daerah dimana kita berdomisili juga bangsa kita. 

Kita bisa melakukannya dengan menyediakan pendukungnya. Misalnya, membuat perpustakaan buku di rumah kita. Kita mesti menyediakan dana khusus untuk membeli berbagai macam bacaan seperti majalah dan koran terutama buku. Saya sendiri berkomitmen untuk terbiasa membeli buku baru daripada membeli baju dan celana baru. 

Di atas segalanya, tulisan sederhana ini bisa jadi tak cukup untuk menjawab secara tuntas pertanyaan para pembaca seperti yang saya singgung di awal tulisan ini. Tapi jujur saja, tulisan ini justru saya buat karena pertanyaan semacam itu. Jadi, pembaca adalah modal atau sumber energi saya dalam menulis, di samping membaca berbagai buku dan sumber tulisan lainnya. 

Akhirnya, semoga saya dan kita semua semakin berhasrat untuk membaca buku dan tulisan jenis lainnya, bahkan untuk menulis buku sebanyak-banyaknya. Tentu bukan sekadar buku, tapi buku-buku bermutu dan layak dibaca dan diwariskan kepada keluarga kuta, generasi baru bangsa dan sejarah kehidupan kita di masa yang akan datang. Kalau kita sudah punya niat dan tekad yang kuat, maka percaya dan optimislah, kita pasti bisa! (*)

Sabtu, 16 Mei 2020 
Pukul 23.45 WIB


* Judul Tulisan 
MARI MEMBACA, MENGEJA SEJARAH! 

OLEH: SYAMSUDIN KADIR 
Penulis buku "Selamat Datang Di Manggarai Barat"; nomor WhatsApp 085797644300

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selamat Datang Dr. Mu'tashim, Pendekar Hadits Lulusan Sudan Asal NTT

Belajar Sukses Kepada Dr. Verdi Yasin

BIARKAN SURAT KABAR JADI SAKSI!