CERENG YANG MENTERENG! 

KETIKA Pak Syamsudin Kadir mengundang saya untuk bergabung dalam grup CERENG MENULIS saya merasa sebuah penghargaan dari grup literasi ini. Terima kasih! Lebih dari itu  saya juga kagum akan kehebatan pak Syam  dalam hal tulis menulis. Entah di media sosial, media cetak bahkan buku. Sepertinya tidak ada pasang surut. Sebagai pendiri grup CERENG MENULIS, dia merasa terpanggil untuk menggiatkan budaya menulis di tengah masyarakat terutama generasi sekarang.

Terus terang lewat media ini baru saya  kenal beliau. Secara tatap muka (face to face)  belum pernah. Namun tulisan-tulisannya yang muncul di media ini memberi kesan kuat bahwa Pak Syam benar seorang penulis super produktif.  Ide atau gagasan yang ingin diungkapkan (ditulis) bagai berlompatan dari ruang otak kemudian dikembangkan jadi sebuah menu lezat yang siap saji di media baca atau layar narasi digital. Alur kata-kata yang abundant (mengalir, berlimpah-limpah), dengan bahasa yang sederhana, lugas, tidak berat dan isi yang bernas pula adalah karakter yg menonjol sebagai seorang penulis. "Cereng" memang hebat!

Saya masih ingat waktu sekolah SR Rekas dulu, bambu-bambu jaringan air bersih tampak melintang di badan jalan dari Tembarai sampai pastoran, disangga tiang-tiang kayu hidup (haju kalo) yang berdiri tegak.  Lalu air jernih itu  mengalir tanpa henti siang malam langsung ke rumah-rumah guru, pastoran, dan lainnya. Kira-kira seperti  itu, dalam telusuran singkat saya, bagaimana pak Syam berkarya tulis. Mengalir.  Antara intelektualisme dan ketrampilan menulis menjadi sebuah model kehidupan yang dimiliki, tak terpisahkan dan implementatif bukan untuk diri sendiri tetapi bagi banyak orang. 

Sejenak saya termenung mengapa sisi lain Mabar yang mencakup wilayah Naga, Ndajot, Nisar, Cereng, Ceremba, dll digambarkan secara  sosio demografis dan geografis sebagai  kawasan terpencil, tertinggal, masih  jauh dari sentuhan kemajuan. Malah diberi label "cikot" (terpencil) dalam konteks fisik alam(nature). Konotasi itu terbantahkan kalau bicara soal SDM (sumber daya manusia) dari aspek pendidikan. 

Seingat saya ada guru-guru (Ibu guru) asal Matawae yang mengajar di SR Rekas dulu kalau tidak salah ada Ibu Tres,  Ibu Marta dan waktu saya SMP Seminari di Kisol guru awam yang mengajar Ilmu Alam, Aljabar, dan Ilmu Bumi adalah bpk Pit Tembo dari Matawae. Beliau salah satu lulusan SGA Ndao Ende tempo dulu tahun 50-an asal Manggarai Barat
berarti mereka SMP-nya di SMP Tubi Ruteng. Ada teman seangkatan mereka Bpk Teo Eduard, dll. Dari tangan Pak Pit lahir antara lain  Doktor Peter Hagul, Doktor Robert Lawang, teman kelas saya dokter Pius Kandar, Pak Gusty Dula Bupati Mabar saat ini, Doktor Hendrik Berybe alm. lahir di Noa, Kempo. 

Semua tahu selain Syuradikara dan Seminari, SGA Ndao termasuk lembaga pendidikan pencetak guru yang sangat  berkualitas dan kompeten dan itu sudah dibuktikan oleh orang Matawae sejak dulu. Bayangkan bagaimana dari ujung, udik Manggarai Barat itu mereka pergi mencari dan mengejar ilmu (sekolah). berjalan kaki (telanjang), yang punya kuda piaraan bisa berkuda (liti denggur) dari Matawae sampai Ruteng. Nginap dua tiga malam di jalan. Lalu  Ruteng-Ende naik truk dengan kondisi jalan (belum beraspal), jembatan, tikungan, tebing curam membuat denyut jantung para penumpang pelajar Manggarai di atas truk dug-dag. 

Di level akademisi, mungkin banyak yg tak kenal alm. Alo Soehadun,  lulusan B.Sc Filipina bidang Ilmu Pengetahuan Alam yg kemudian sempat jadi guru  SMA Syuradikara Ende kemudian Kadis PU Kabupaten Manggarai 
(belum mekar) dan terakhir menetap di  Kupang  Kanwil PU Provinsi NTT, staf ahli. Generasi kemudian muncul  Doktor Abdul Sehami yang berkiprah di jalur pendidikan tinggi di ibu kota (Jakarta) dan mungkin masih  banyak contoh sebagai indikator intelektualisme dari kawasan yang akrab disebut Matawae itu.

Penulis, Pak Syamsudin Kadir, hemat saya, sebuah fenomena kepenulisan yang muncul dari Matawae persisnya  Cereng. SR (Sekolah Rakyat=SD) Cereng  yg berdiri tahun 1925 (Rekas 1912) dengan guru pertama Bpk Roma Parera asal Maumere menjadi dasar konvensional kemajuan  ilmu baca dan tulis.
Di  sanalah pembentukan awal intelektualisme  dan potensi keberbakatan tersemai yang harus dikembangkan secara mandiri (self development). (*)


* Judul tulisan 
CERENG YANG MENTERENG! 

Oleh: Wilhelmus Berybe 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Alasan Memilih Muhamad Salahudin Pada Pileg 2024

Mengenang Mama Tua, Ine Jebia

Jadilah Relawan Politik Tanpa Mahar!