MENAGIH JANJI-CINTA ELITE POLITIK MANGGARAI BARAT
AKHIR-akhir ini, lebih-lebih menjelang Pilkada Manggarai Barat (Mabar) 23 September 2020, warga Mabar disuguhi berbagai intrik, hingar bingar bahkan pergolakan yang mengarah kepada menghilangnya substansi demokrasi atau politik. Hal ini bisa kita pahami dari berbagai pemberitaan media massa dan media sosial yang memang akhir-akhir ini begitu ramai membincang soal Pilkada Mabar 2020.
Demokrasi sejatinya adalah sistem dimana semua orang bisa berkompetesi secara elegan dan bertanggung jawab. Politik sebagai seni melakoni teori demi mencapai tujuan demokrasi pun mestinya ditunaikan secara elegan dan sama-sama bertanggung jawabnya, yang berarti dengan seluruh daya dan upaya menghilangkan intrik, hingar bingar dan pergolakan yang merugikan kepentingan publik. Sehingga demokrasi (politik) bukan menjadi pemicu konflik dan menjadi momok yang menakutkan publik.
Sederhananya, mengutip Eep Saefulloh Fatah (2000), demokrasi sekaligus politik adalah instrumen juga sarana mencari titik temu berbagai elemen yang terfragmentasi menuju cita-cita luhur negara. Namun, pada praktiknya, politik begitu naif. Di panggung-panggung publik seperti menjelang dan di saat kampanye, dialog dan debat publik, para elite politik kerap menebar janji dan berbagi pesona sekaligus sering tak sabar dalam melalui proses-proses demokrasi (politik) atau Pileg atau Pilkada itu sendiri.
Tapi lagi-lagi, inilah naifnya, publik hanya mendapatkan janji dan pesona, bahkan menyaksikan gejolak yang merugikan publik. Elite politik dan publik pun benar-benar terfragmentasi dalam berbagai skala: teori, tujuan, orientasi dan praktik. Teori politik yang begitu ideal, sebagaimana yang digariskan para penggagas dan ilmuwan pun, akhirnya tercabik-cabik dan tercederai oleh praktik politik elite.
Politik pun berubah, seperti kata Groucho Marx, menjadi seni mencari masalah, menemukan masalah di mana-mana, mendiagnosisnya secara serampangan dan memberikan obat yang salah.
Lebih jauh, ini yang sangat berbahaya, politik pun seperti kehilangan ruh luhurnya: cinta. Padahal cintalah yang mendorong nurani elite politik untuk memenuhi janji-janji politik dan melayani publik ketika kelak menjabat. Dengan begitu, politik akan semakin hambar bila elite politik kehilangan ruh cinta.
Dari tradisi kepemimpinan Amerika Serikat, kita mengenal ungkapan menggugah, inspiratif dan sangat jenial pemimpin terkenal negara itu, Jhon F. Kenedy: “Jangan bertanya apa yang diberikan negara kepadamu, tapi bertanyalah apa yang kamu berikan untuk negaramu?.
Kenedy mengisyaratkan bagaimana selayaknya elite politik menunaikan perannya dalam melaksanakan amanah publik. Bahwa elite politik tidak sepatutnya menyusun kerja dan kinerja yang mengarah kepada kepentingan pribadi dan golongannya, sebab ada tugas lebih besar yang mestinya dijejakkan: melaksanakan secara tulus tugas dan wewenang yang dititipkan publik.
Mengafirmasi Kenedy, elite politik selayaknya hanya fokus pada pernyataan ini: saya mesti melakukan sesuatu untuk kepentingan publik (negara) tercinta. Itulah praktik terbaik sebagai bukti cinta pada amanah publik, tugas bangsa dan negara.
Lebih mendalam dari Kenedy, dalam sejarah peradaban umat manusia kita mengenal sebuah hadits nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Beliau bersabda, “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, kalian mendo’akan mereka dan mereka mendo’akan kalian. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan mereka membenci kalian, yang kalian laknat dan mereka melaknat kalian”.
Walau disampaikan oleh nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, yang cendreung dan kerap disematkan untuk umat satu agama (dalam hal ini Islam), apa yang beliau sampaikan sebetulnya sangat berlaku bagi semua umat manusia lintas latar belakang. Sebab mandat kepemimpinan bisa menimpa siapa saja. Cinta pun sejatinya merupakan nilai sekaligus prinsip universal yang menjangkau semua umat manusia di bawah kolong langit bumi ini.
Menyaksikan berbagai perhelatan demokrasi terutama di berbagai Pilkada selama beberapa periode terakhir pasca reformasi, dengan berbagai peristiwa yang terjadi di dalamnya, mengharuskan kita untuk bertanya : masih adakah cinta dalam politik seperti Pileg dan Pilkada kita?
Dalam politik, dengan mengelaborasi Arvan Pradiansyah (2009), satu hal yang kita butuhkan, lebih-lebih jika menyaksikan fenomena elite politik sekaligus warga negara (mungkin termasuk juga di Mabar) secara umum akhir-akhir ini, adalah cinta.
Kata Blaise Pascal, keadilan tanpa kekuasaan takkan berdaya, kekuasaan tanpa keadilan adalah tirani. Tirani selalu bermula dari sana: saat seseorang atau sekelompok orang atau sebuah rezim kehilangan respek dan penghargaan (keadilan) kepada orang lain atau kelompok lain atau rezim lain. Ketika respek dan penghargaan (keadilan) hilang, persepsi penguasa beralih ke dalam, ke dalamnya diri, “sang Aku”.
Lalu penguasa, dalam hal ini termasuk pengendali ekonomi, mulai memandang dari perspektif “sang Aku” wilayah luar orang atau kelompok lain sebagai sesuatu yang terpisah dan asing, tidak berarti, tidak layak ada bahkan dianggap musuh yang tak perlu didengar.
Di saat elite politik sudah terjebak dalam pola pikir tiranik semacam itu, maka hanya satu lagi yang ditunggu agar ia menjadi kenyataan publik : kekuasaan yang melegitimasi. Itu sebabnya, dengan segala bentuk cara (legal atau pun dengan melanggar hukum dan etik), praktik politik selalu memaksa pelakunya untuk bertindak melampaui norma, kepatutan dan kehendak publik. Dalam momentum Pilkada biasanya diaksikan dengan praktik politik uang (money politics).
Kekuasaan pada hakikatnya adalah otoritas netral yang bisa digunakan untuk melegitimasi apa saja, baik dalam urusan individu, kelompok maupun publik. Namun godaannya justru terletak di situ : pada netralitasnya. Sehingga politik uang pun bisa menjeratnya.
Pun begitu respek dan penghargaan (keadilan) lenyap dan berganti dengan kebencian, kekuasaan segera memberi jalan mulus bagi tirani : politik tidak punya fungsi daya serap, ketidakadilan menjadi masif, elite politik sibuk mengurus diri dan kelompok, publik semakin mudah tersuluh untuk melakukan tindakan anarkis serta hukum semakin tak punya ruang juga daya.
Bangsa ini berpengalaman hidup dalam tirani politik ke-Aku-an (baca: tirani yang tak terkelola dengan baik) yang mendominasi, sehingga pemegang kekuasaan negara pun menjadi musuh kolektif publik. Publik pun membangun kekuatan kolektifitas, yang dalam sejarah bangsa ini dalam beberapa dekade berhasil menumbangkan rezim. Rezim pun berakhir dengan sejarah tragis, di samping seperangkat sejarah baiknya.
Tirani, adalah momok (baca: praktik politik tiranik, ketidakadilan) dalam sejarah manusia yang selalu berkoalisi dengan kekuasaan. Tapi momok ini tetap bisa dilawan. Kekuatan yang bisa melawannya adalah cinta (love).
Cinta adalah kutub jiwa yang berlawanan dengan tirani : ia lahir dari respek dan penghargaan (keadilan) kepada publik. Manakala kekuasaan mendapatkan sentuhan cinta, wajahnya segera berubah : gurat-gurat kekejaman, culas dan manipulasi segera berganti jadi garis-garis semangat hingga kerentaan dari penguasa yang lelah mengayomi dan melayani rakyatnya.
Jika cinta adalah tindakan memberi, maka dari sanalah datangnya semua kebajikan dalam diri penguasa atau elite politik : mendengar, melayani, memberi, melindungi dan menyejahterakan warga yang dipimpinnya.
Jadi, hanya dalam genggaman cintalah kekuasaan dan praktik politik elite berubah jadi alat untuk melindungi, melayani dan menyejahterakan publik. Di sana “sang Aku” bukan lagi kuda liar yang setiap saat bisa melompat dari kandang dengan energi kekuasaan dan hegemoni kepentingan kelompok politik tertentu. “Sang Aku” dalam genggaman cinta ibarat mata air kebijakan yang pada suatu saat bertemu dengan hujan deras kekuasaan, maka jadilah banjir : kebijakan melimpah ruah dalam muara publik (masyarakat manusia).
Bagi pejabat publik di Mabar, baik di Eksekutif (Bupati, Wakil Bupati, OPD dan sebagainya) maupun di Legislatif (DPRD Mabar), kita layak ingatkan agar mereka betul-betul menjalankan mandat warga Mabar secara baik dan penuh tanggungjawab. Mereka mesti menyadari bahwa apa yang mereka emban sekarang adalah tugas negara, bukan untuk gagah-gagahan.
Baik sebagai elite politik maupun sebagai warga negara biasa di Mabar, kita patut bertanya : masih adakah cinta dalam diri kita masing-masing, sehingga politik mampu menghadirkan keamanan, kenyamanan, ketentraman dan kesejahteraan; atau justru tirani sudah menghinggap dalam (nurani) politik kita, sehingga yang kita peroleh hanya ketidakadilan, keculasan, permusuhan, hingga berujung kepada anarkisme dan kriminalitas?
Jika sebagai warga biasa kita sudah memiliki cinta, maka saat ini dan ke depan kita punya kesempatan dan tugas sejarah untuk menagih secara masif kepada para pejabat publik atau elite politik itu : mana cintamu?
Ya, kita mesti serius dan secara terus menerus menagih janji atau cinta elite politik di Mabar, terutama mereka yang kini mendapatkan mandat alias menjabat. Dengan begitu pesta politik seperti Pileg dan Pilkada tak sekadar momentum parade janji, tapi yang lebih penting adalah momentum menagih janji. [*]
* Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis buku "Mencintai Politik" dan "Selamat Datang di Manggarai Barat", warga Cereng, Golo Sengang, Sano Nggoang-Mabar.
Demokrasi sejatinya adalah sistem dimana semua orang bisa berkompetesi secara elegan dan bertanggung jawab. Politik sebagai seni melakoni teori demi mencapai tujuan demokrasi pun mestinya ditunaikan secara elegan dan sama-sama bertanggung jawabnya, yang berarti dengan seluruh daya dan upaya menghilangkan intrik, hingar bingar dan pergolakan yang merugikan kepentingan publik. Sehingga demokrasi (politik) bukan menjadi pemicu konflik dan menjadi momok yang menakutkan publik.
Sederhananya, mengutip Eep Saefulloh Fatah (2000), demokrasi sekaligus politik adalah instrumen juga sarana mencari titik temu berbagai elemen yang terfragmentasi menuju cita-cita luhur negara. Namun, pada praktiknya, politik begitu naif. Di panggung-panggung publik seperti menjelang dan di saat kampanye, dialog dan debat publik, para elite politik kerap menebar janji dan berbagi pesona sekaligus sering tak sabar dalam melalui proses-proses demokrasi (politik) atau Pileg atau Pilkada itu sendiri.
Tapi lagi-lagi, inilah naifnya, publik hanya mendapatkan janji dan pesona, bahkan menyaksikan gejolak yang merugikan publik. Elite politik dan publik pun benar-benar terfragmentasi dalam berbagai skala: teori, tujuan, orientasi dan praktik. Teori politik yang begitu ideal, sebagaimana yang digariskan para penggagas dan ilmuwan pun, akhirnya tercabik-cabik dan tercederai oleh praktik politik elite.
Politik pun berubah, seperti kata Groucho Marx, menjadi seni mencari masalah, menemukan masalah di mana-mana, mendiagnosisnya secara serampangan dan memberikan obat yang salah.
Lebih jauh, ini yang sangat berbahaya, politik pun seperti kehilangan ruh luhurnya: cinta. Padahal cintalah yang mendorong nurani elite politik untuk memenuhi janji-janji politik dan melayani publik ketika kelak menjabat. Dengan begitu, politik akan semakin hambar bila elite politik kehilangan ruh cinta.
Dari tradisi kepemimpinan Amerika Serikat, kita mengenal ungkapan menggugah, inspiratif dan sangat jenial pemimpin terkenal negara itu, Jhon F. Kenedy: “Jangan bertanya apa yang diberikan negara kepadamu, tapi bertanyalah apa yang kamu berikan untuk negaramu?.
Kenedy mengisyaratkan bagaimana selayaknya elite politik menunaikan perannya dalam melaksanakan amanah publik. Bahwa elite politik tidak sepatutnya menyusun kerja dan kinerja yang mengarah kepada kepentingan pribadi dan golongannya, sebab ada tugas lebih besar yang mestinya dijejakkan: melaksanakan secara tulus tugas dan wewenang yang dititipkan publik.
Mengafirmasi Kenedy, elite politik selayaknya hanya fokus pada pernyataan ini: saya mesti melakukan sesuatu untuk kepentingan publik (negara) tercinta. Itulah praktik terbaik sebagai bukti cinta pada amanah publik, tugas bangsa dan negara.
Lebih mendalam dari Kenedy, dalam sejarah peradaban umat manusia kita mengenal sebuah hadits nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Beliau bersabda, “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, kalian mendo’akan mereka dan mereka mendo’akan kalian. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan mereka membenci kalian, yang kalian laknat dan mereka melaknat kalian”.
Walau disampaikan oleh nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, yang cendreung dan kerap disematkan untuk umat satu agama (dalam hal ini Islam), apa yang beliau sampaikan sebetulnya sangat berlaku bagi semua umat manusia lintas latar belakang. Sebab mandat kepemimpinan bisa menimpa siapa saja. Cinta pun sejatinya merupakan nilai sekaligus prinsip universal yang menjangkau semua umat manusia di bawah kolong langit bumi ini.
Menyaksikan berbagai perhelatan demokrasi terutama di berbagai Pilkada selama beberapa periode terakhir pasca reformasi, dengan berbagai peristiwa yang terjadi di dalamnya, mengharuskan kita untuk bertanya : masih adakah cinta dalam politik seperti Pileg dan Pilkada kita?
Dalam politik, dengan mengelaborasi Arvan Pradiansyah (2009), satu hal yang kita butuhkan, lebih-lebih jika menyaksikan fenomena elite politik sekaligus warga negara (mungkin termasuk juga di Mabar) secara umum akhir-akhir ini, adalah cinta.
Kata Blaise Pascal, keadilan tanpa kekuasaan takkan berdaya, kekuasaan tanpa keadilan adalah tirani. Tirani selalu bermula dari sana: saat seseorang atau sekelompok orang atau sebuah rezim kehilangan respek dan penghargaan (keadilan) kepada orang lain atau kelompok lain atau rezim lain. Ketika respek dan penghargaan (keadilan) hilang, persepsi penguasa beralih ke dalam, ke dalamnya diri, “sang Aku”.
Lalu penguasa, dalam hal ini termasuk pengendali ekonomi, mulai memandang dari perspektif “sang Aku” wilayah luar orang atau kelompok lain sebagai sesuatu yang terpisah dan asing, tidak berarti, tidak layak ada bahkan dianggap musuh yang tak perlu didengar.
Di saat elite politik sudah terjebak dalam pola pikir tiranik semacam itu, maka hanya satu lagi yang ditunggu agar ia menjadi kenyataan publik : kekuasaan yang melegitimasi. Itu sebabnya, dengan segala bentuk cara (legal atau pun dengan melanggar hukum dan etik), praktik politik selalu memaksa pelakunya untuk bertindak melampaui norma, kepatutan dan kehendak publik. Dalam momentum Pilkada biasanya diaksikan dengan praktik politik uang (money politics).
Kekuasaan pada hakikatnya adalah otoritas netral yang bisa digunakan untuk melegitimasi apa saja, baik dalam urusan individu, kelompok maupun publik. Namun godaannya justru terletak di situ : pada netralitasnya. Sehingga politik uang pun bisa menjeratnya.
Pun begitu respek dan penghargaan (keadilan) lenyap dan berganti dengan kebencian, kekuasaan segera memberi jalan mulus bagi tirani : politik tidak punya fungsi daya serap, ketidakadilan menjadi masif, elite politik sibuk mengurus diri dan kelompok, publik semakin mudah tersuluh untuk melakukan tindakan anarkis serta hukum semakin tak punya ruang juga daya.
Bangsa ini berpengalaman hidup dalam tirani politik ke-Aku-an (baca: tirani yang tak terkelola dengan baik) yang mendominasi, sehingga pemegang kekuasaan negara pun menjadi musuh kolektif publik. Publik pun membangun kekuatan kolektifitas, yang dalam sejarah bangsa ini dalam beberapa dekade berhasil menumbangkan rezim. Rezim pun berakhir dengan sejarah tragis, di samping seperangkat sejarah baiknya.
Tirani, adalah momok (baca: praktik politik tiranik, ketidakadilan) dalam sejarah manusia yang selalu berkoalisi dengan kekuasaan. Tapi momok ini tetap bisa dilawan. Kekuatan yang bisa melawannya adalah cinta (love).
Cinta adalah kutub jiwa yang berlawanan dengan tirani : ia lahir dari respek dan penghargaan (keadilan) kepada publik. Manakala kekuasaan mendapatkan sentuhan cinta, wajahnya segera berubah : gurat-gurat kekejaman, culas dan manipulasi segera berganti jadi garis-garis semangat hingga kerentaan dari penguasa yang lelah mengayomi dan melayani rakyatnya.
Jika cinta adalah tindakan memberi, maka dari sanalah datangnya semua kebajikan dalam diri penguasa atau elite politik : mendengar, melayani, memberi, melindungi dan menyejahterakan warga yang dipimpinnya.
Jadi, hanya dalam genggaman cintalah kekuasaan dan praktik politik elite berubah jadi alat untuk melindungi, melayani dan menyejahterakan publik. Di sana “sang Aku” bukan lagi kuda liar yang setiap saat bisa melompat dari kandang dengan energi kekuasaan dan hegemoni kepentingan kelompok politik tertentu. “Sang Aku” dalam genggaman cinta ibarat mata air kebijakan yang pada suatu saat bertemu dengan hujan deras kekuasaan, maka jadilah banjir : kebijakan melimpah ruah dalam muara publik (masyarakat manusia).
Bagi pejabat publik di Mabar, baik di Eksekutif (Bupati, Wakil Bupati, OPD dan sebagainya) maupun di Legislatif (DPRD Mabar), kita layak ingatkan agar mereka betul-betul menjalankan mandat warga Mabar secara baik dan penuh tanggungjawab. Mereka mesti menyadari bahwa apa yang mereka emban sekarang adalah tugas negara, bukan untuk gagah-gagahan.
Baik sebagai elite politik maupun sebagai warga negara biasa di Mabar, kita patut bertanya : masih adakah cinta dalam diri kita masing-masing, sehingga politik mampu menghadirkan keamanan, kenyamanan, ketentraman dan kesejahteraan; atau justru tirani sudah menghinggap dalam (nurani) politik kita, sehingga yang kita peroleh hanya ketidakadilan, keculasan, permusuhan, hingga berujung kepada anarkisme dan kriminalitas?
Jika sebagai warga biasa kita sudah memiliki cinta, maka saat ini dan ke depan kita punya kesempatan dan tugas sejarah untuk menagih secara masif kepada para pejabat publik atau elite politik itu : mana cintamu?
Ya, kita mesti serius dan secara terus menerus menagih janji atau cinta elite politik di Mabar, terutama mereka yang kini mendapatkan mandat alias menjabat. Dengan begitu pesta politik seperti Pileg dan Pilkada tak sekadar momentum parade janji, tapi yang lebih penting adalah momentum menagih janji. [*]
* Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis buku "Mencintai Politik" dan "Selamat Datang di Manggarai Barat", warga Cereng, Golo Sengang, Sano Nggoang-Mabar.

Komentar
Posting Komentar