KAUM MUDA UNTUK MABAR YANG SEMAKIN MAJU 

Dinamika politik di Manggarai Barat (Mabar) akhir-akhir ini semakin hangat. Mabar sendiri merupakan salah satu daerah yang mengikuti pilkada serentak 2020. Sehingga sangat wajar bila dinamika politik semakin hangat bahkan menarik energi banyak orang.

Dalam dinamika politik pasca reformasi, salah satu tema diskusi yang mencuat adalah pentingnya pemimpin muda. Hal ini tentu muncul bukan asal muncul, tapi justru karena ada sebab, yang bukan saja karena dampak gagalnya politisi tua dalam mengagregasi kepentingan publik tapi juga karena kebutuhan kekinian yang menghendaki adanya regenerasi kepemimpinan di segala level kehidupan publik.

Secara praktis, adanya wacana kepemimpinan muda terutama terjadi pada dinamika pergantian kepemimpinan daerah. Hal ini terjadi bukan di satu atau dua tempat saja, tapi di banyak tempat. Kepemimpinan muda dianggap sebagai antitesa kepemimpinan tua sekaligus tersumbatnya regenerasi sehingga menyebabkan kaum muda tersisihkan secara struktural dan kultural politik.

Kembali ke persoalan pilkada Mabar yang segera menjelang, wacana kepemimpinan muda bukan hal yang usang. Malah dalam konteks struktur demografi dan anatomi politik Mabar masa kini, kepemimpinan muda menjadi sangat relevan.

Meminjam ungkapan seorang teman, "Bupati dan Wakil Bupati Mabar periode berikutnya berusia antara 35-50 tahun. Ini sebagai apresiasi kepada elemen muda dan bonus demografi di Mabar". Ungkapan ini cukup relevan diketengahkan dalam konteks menjelang pilkada Mabar yang tak lama lagi.

Dalam ungkapan anak-anak milenial, "Susah juga kalau Mabar dipimpin oleh orangtua terus. Kita jadi sungkan mengkritik. Takut tidak sopan juga. Kalau masih muda kan, bisa seru. Mengkritiknya juga engga pakai tabe segala. Karena sudah akrab dengan bahasa ala anak muda".

Cukup bilang begini: "Hai Bro, ini janji ente tuk perbaiki infrastruktur gimana wujudnya?", "Hai teman, ini air minum di Labuan Bajo susah amat, wujud janjimu mana?", "Ole kesa momang, hau jadi Bupati, neka hemong pande beres salang aspal leok beo.", "Luar biasa, kela sudah jadi Wakil Bupati, syukur sudah. Tapi kemiskinan di Mabar bagaimana penyelesaiannya?", Dan lain sebagainya.

Pernyataan sekaligus pertanyaan semacam itu adalah ungkapan khas anak muda. Di sini bukan bermaksud menepikan adab ala Manggarai yang selama ini memang tetap kita jaga. Namun poinnya adalah bagaimana seorang pemimpin bisa memahami realitas warganya, terutama anak-anak muda yang memang memiliki pola komunikasi yang khas.

Selebihnya, kepemimpinan muda menjadi relevan juga karena kondisi geografi Mabar yang cukup luas dan sebagian masih belum tersentuh jalan raya yang layak. Hadirnya pemimpin yang bisa menjangkau daerah semacam ini tentu menjadi harapan masyarakat Mabar. Mereka butuh pemimpin yang mendengar langsung aspirasi mereka.

Nah relevansi kepemimpinan muda di konteks ini. Bukan saja usianya yang memang muda tapi juga pola komunikasinya relevan dengan kondisi kekinian Mabar. Memori  dan jejak kepemimpinan muda tak boleh terjebak lama pada pola lama. Pemimpin muda mesti akseleratif, cepat mengambil kebijakan dan cepat juga dalam bertindak. Tentu dalam bingkai kepentingan publik.

Memahami beberapa hal tersebut, pilkada Mabar ke depan perlu dihangatkan, terutama dengan wacana kepemimpinan muda. Muda bukan soal usia dan daya respon semata, tapi soal kemampuan komunikasi dan jaringan yang memang khas anak muda. Ia tidak banyak dan berlama-lama dalam mengambil keputusan untuk mewujudkan pembangunan, tapi langsung berpikir dan bergerak cepat.

Kalau itu yang terjadi maka kita semakin optimis bahwa pesta demokrasi atau pilkada serentak adalah bagian dari proses kaderisasi sekaligus regenerasi kepemimpinan di Mabar. Jangan sampai selama sekian kali pesta demokrasi yang muncul selalu nama-nama itu. Kita bukan alergi, sama sekali bukan. Tapi soal kesediaan untuk mengalahkan diri sendiri demi kemunculan kaum muda dalam pentas politik.

Kita rasa-rasanya sangat layak bila membiarkan para politisi tua mengambil posisi sebagai guru, penasehat dan pembina bagi generasi yang memimpin. Karena memang ini era kaum muda atau kepemimpinan kaum muda, sementara kaum tua cukup sudah. (*)

Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis Lepas



Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Alasan Memilih Muhamad Salahudin Pada Pileg 2024

Mengenang Mama Tua, Ine Jebia

Jadilah Relawan Politik Tanpa Mahar!