TERIMA KASIH LAMPUKU

Warga komplek perumahan tetiba dikagetkan dengan pemadaman listrik oleh PLN. Kalau puluhan menit mungkin tak mengapa. Tapi ini berjam-jam. 5 sampai 15 jam. Itu terjadi secara mendadak. Pada Ahad-Senin, 4-5 Agustus 2019.

Kejadian serupa sebetulnya sudah terjadi di beberapa tempat beberapa waktu sebelumnya. Ada yang sekali setahun, sekali 6 bulan, sekali 3 bulan, sekali sebulan. Dan ada juga yang sekali sepekan. Ada yang 5 jam. Ada juga yang sampai 1 jam. Pokoknya beda-beda.

Suara protes pun terdengar di mana-mana. Baik melalui media massa maupun melalui akun media sosial yang kini menjamur. Bukan saja nyinyir dan nyindir, tapi juga sumpah serapah. Pokoknya bikin kepala pusing dan hadeuh ribet deh.

Hal ini dimaklumi saja. Sebab di saat warga terlambat membayar listrik sehari saja pasti didenda. Bahkan kalau terlambat membayar berhari-hari, warga sebagai konsumen bakal mendapat ancaman: aliran listriknya diputus. Dalam beberapa kejadian, warga ada juga yang diancam ini itu. Ampun deh.  

Situasi kehidupan di perkotaan memang berbeda. Serba ideal dan pokoknya suasana terasa tegang. Bahkan lebih tegang dari tegangan listrik itu sendiri. Suasana semakin tegang di saat pemadaman listrik terjadi di beberapa kota di pulau Jawa. Terutama di beberapa kota di Propinsi DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat seperti yang aku singgung di awal tadi.

Situasi semacam itu, membuat aku menjadi teringat dengan kondisi dan kenangan di kampungku: Cereng. Kampung ini terletak di Desa Golo Sengang, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat-NTT. Letaknya jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Ia benar-benar terpencil. Jauh dari sentuhan ril atau wujud nyata janji para politisi.

Walau kampungku tergolong kampung paling terpencil di negeri tercinta: Indonesia, kampung dan daerahku terkenal dengan binatang Komodo. Salah satu binatang terunik di dunia. Di sini juga banyak objek wisata yang oke punya. Pejabat penting negara dan para politisi sering ke tempat ini.

Banyak pertanyaan yang kerap muncul. Misalnya, apa dampak pariwisata bagi kampungku? Apa tujuan dan efek kunjungan para pejabat negara dan politisi itu bagi kemajuan infrastruktur kampungku? Entah lah. Semoga mereka masih manusia. Itu saja.

Dari kampung terpencil ini aku mengenang satu makhluk berjasa. Ya, ini merupakan salah satu makhluk paling berjasa bagi kehidupanku dan warga kampungku selama puluhan tahun, bahkan ratusan tahun, termasuk di saat aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Aku menyebut dan mengenangnya dengan "Lampuku".

Selama 6 tahun di SD, tepatnya Sekolah Dasar Katolik (SDK) Cereng (1990-1996), aku dan teman-temanku ditemani oleh "Lampuku" ini. Biasanya kami belajar malam di rumah Kepala Sekolah, Guru Kelas atau Guru Bidang Studi. Pokoknya rumah Guru. Mulai pukul 19.00 sampai pukul 22.00 WITA. Namanya Studi Malam.

Guru yang aku maksud, khususnya yang pernah mengajar aku di saat di bangku SD adalah Pak Martinus Tjama (Kepala Sekolah), Pak Pius Sarto, Pak Jhon Ngantak, Pak Frans Napang, Bu Vin, dan Bu Neldis. Merekalah yang berjasa besar dalam perjalanan hidupku.

Dari kelas 3 hingga kelas 4, kami  mendapatkan kesempatan belajar di rumah Guru yang aku sebut, setiap hari Senin, Rabu dan Jumat. Di saat kelas 5 dan kelas 6, kami belajar di rumah Guru hampir setiap hari. Kecuali hari Sabtu dan Ahad. Sekali lagi, namanya Studi Malam.

Kadang "Lampuku" tak berfungsi karena minyaknya habis. Sebab Guru bisa membeli minyak tanah hanya sekali sebulan. Itu pun butuh perjalanan sekitar 5 sampai 10 jam, karena memang jarak kampungku menuju pasar atau tempat jualan minyak tanah berjarak puluhan kilo meter.

Jarak segitu bukan pakai angkutan umum. Tapi berjalan kaki. Benar-benar jalan kaki. Dan itu sudah menjadi rutinitas warga kampung selama puluhan bahkan sejak ratusan tahun silam. Termasuk para Guru yang mendapatkan jadwal untuk membeli minyak tanah di pasar, semuanya berjalan kaki.

Ya, kami bisa mengenal abjad dan membaca berbagai macam buku pelajaran karena jasa "Lampuku". Sampai kapan pun jasanya susah dilupakan. Benar-benar terbayang. Mendengar warga kota yang ramai karena pemadaman listrik, membuat aku terngiang dengan masa-masa itu. Masa-masa berpeluh mengenal abjad  bersama lampuku.

"Lampuku" pun benar-benar berjasa besar bagi warga di kampungku di saat ada acara-acara besar di kampungku. Seperti acara pernikahan, syukuran, pesta keluarga, dan berbagai hal yang diadakan di malam hari. Atau juga acara pertemuan warga di saat ada pejabat pemerintahan yang berkunjung ke kampungku.

Terima kasih banyak kepada para Guru yang telah mengajar dan mendidikku juga teman-temankku. Kalian telah berjasa banyak, sehingga aku dan teman-temanku mengenal abjad dan bisa membaca, bahkan menjadi tergoda terus untuk membaca buku.  

Di atas segalanya, terima kasih banyak ya "Lampuku" yang menjadi andalanku. Kau telah berjasa banyak dalam kehidupanku, teman-temanku juga warga kampungku. Ya, kau telah menerangi aku dan keluarga besar juga warga kampungku selama sekian waktu. Puluhan bahkan ratusan tahun. Sejak dulu hingga kini. Nama dan jasamu abadi selalu dalam kesan dan kenangan. (*)

Judul asli "Terima Kasih Lampuku; Mengenang Dia yang Berjasa".


Albasia Raya No. 419
Senin, 5 Agustus 2019

--SYAMSUDIN KADIR--
Nomor kontak WhatsApp: 085797644300

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selamat Datang Dr. Mu'tashim, Pendekar Hadits Lulusan Sudan Asal NTT

Belajar Sukses Kepada Dr. Verdi Yasin

BIARKAN SURAT KABAR JADI SAKSI!