MENAGIH JANJI DAN PERAN PARA POLITISI

PAKAR politik ternama Robert A Dahl (Polyarchy : Participacion and Opposition, 1971), pernah mengungkapkan, ketika demokrasi sebagai sebuah keharusan maka dimensi politik yang sifatnya generik yakni partisipasi dan kompetisi akan begitu menyeruak.

Mengamini Robert, konteksnya dengan dinamika pasca Pemilu yang baru saja berlalu, saya memahami bahwa gegap gempita rakyat pada proses politik (demokratisasi) dan pasca-nya mengandung persoalan serius. Di satu sisi merupakan wujud sukses demokrasi, pada sisi yang lain sekaligus wujud gagalnya. Sukses, sebab kesadaran kultural muncul begitu rupa. Bahwa politik bukan lagi hanya hak kolektif semata—yang dalam hal ini dikoordinasikan elite melalui mekanisme partai politik (Parpol)—tapi juga hak individualistik (orang). Dengan demikian, partisipasi dalam politik tidak lagi hanya pekerjaan elite Parpol tapi juga menjadi pekerjaan masing-masing individu. 

Sebaliknya, gagal, sebab sebagian rakyat hanya mencukupkan dirinya sebagai “penggembira” politik dan tidak segera menaikan jenjang menjadi pelaku politik. Pola politik “cukup” semacam ini dapat dijelaskan, misalnya, rakyat begitu berbusa berbicara politik, mudah digiring untuk memilih (pada saat yang sama mudah sekali mengalihkan pilihan politik ke elite tertentu), dan turut serta dalam meramaikan peristiwa politik seperti kampanye hingga ikut memilih, namun mereka tak mampu memposisikan diri sebagai warga negara. 

Sejatinya, rakyat tidak hanya cukup sebagai pemilih, tapi mampu menjadi warga negara yang tahu hak sekaligus kewajiban. Tidak sekadar mampu berbicara politik dan ikut memilih tapi juga mampu menagih janji dan mengkritisi pada elite politik, di samping mendukung setiap program yang membangun di saat para elite politik itu manggung. Dengan menjadi warga negara dalam makna demikian, maka hak-hak politiknya tidak akan mudah dikebiri elite politik yang berkompetisi dan berkoalisi. 

Menjalankan tugas sebagai warga negara adalah penting, bahkan jauh lebih penting—lebih-lebih—pasca perhelatan demokrasi (baca: Pemilu 2019) yang lalu. Di antara kerja konstitusional yang mesti terus dijejakkan warga negara adalah menagih peran sekaligus janji para politisi atau partai politik (Parpol). 

UU Republik Indonesia No. 2 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik, dijelaskan bahwa Parpol diarahkan pada dua hal utama, yaitu pertama, membentuk sikap dan perilaku partai politik yang terpola atau sistemik sehingga terbentuk budaya politik yang mendukung prinsip-prinsip dasar sistem demokrasi. Hal ini ditunjukan dengan sikap dan perilaku Parpol yang memiliki sistem seleksi dan rekruitmen keanggotaan yang memadai serta mengembangkan sistem pengkaderan dan kepemimpinan politik yang kuat. Kedua, memaksimalkan fungsi Parpol baik fungsi Parpol terhadap negara maupun fungsi Parpol terhadap rakyat melalui pendidikan politik dan pengkaderan serta rekruitmen politik yang efektif untuk menghasilkan kader-kader calon pemimpin yang memiliki kemampuan di bidang politik.

Nah, tugas kita (publik) adalah meningkatkan peran penting sebagai penagih janji kepada para politisi. Sederhananya, publik didesak untuk tak pernah lelah memberi masukan, kritikan bahkan interupsi kepada para politisi agar secara cermat dan gempita menjalankan peran politiknya seperti yang digariskan Undang-Undang. 

Dalam konteks itu, politisi Parpol mesti menjalankan tugasnya, misalnya, pertama, sebagai juru bicara partainya. Bagaimanapun, peran konstitusional partai akan berjalan dengan baik manakala instrumen di dalamnya, termasuk politisi, mampu menjadi juru bicara terbaik bagi partainya. Sebagai juru bicara, politisi bukan saja mengkampanyekan dirinya tapi juga mesti mampu menjelaskan ke khalayak (publik) tentang visi, misi, platform dan agenda strategis partainya dalam membangun Indonesia dalam berbagai level pemerintahannya, baik pusat maupun daerah. Menjadi juru bicara tentu bukan semata soal kelancaran berbahasa, tapi kemampuan membangun jaringan dan mengkonsolidasikan massa. Sebab tak semua yang pandai bicara mampu membangun jaringan dan mengkonsolidasikan massa.  

Kedua, sebagai martir partai. Sebagai martir partai, politisi tak cukup mempertahankan dirinya sebagai politisi dan sibuk membangun citra bagi penokohan dirinya untuk orientasi personal. Mereka juga harus mampu menjadi martir atau dalam kajian filsafat politik disebut sebagai ideolog politik—dalam hal ini ideolog partai. Sebagai ideolog partai, politisi mesti memiliki karakteristik: konsisten, memihak dan melawan. 

Konsisten, dapat diwujudkan dengan menjaga nilai-nilai luhur partai sekaligus negara seperti nasionalisme, patriotisme, integritas, pengorbanan, kerjasama, tolong menolong, kekeluargaan dan serupanya. Dalam hal yang lebih teknis, sebagai ideolog partai, konsisten dapat diwujudkan dengan cara menjaga sekaligus mewujudkan visi, misi dan platform partai dalam tataran praktis. Mereka mesti mampu menjelaskan secara teknis-aplikatif berbagai hal yang sifatnya filosofis dan gagasan parpol, sehingga publik mampu memahami lebih jauh agenda mereka dalam menjalankan amanah publik. 

Memihak, dapat diwujudkan dengan melakukan advokasi terhadap berbagai kepentingan publik (bangsa dan negara) di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Betul bahwa membela kepentingan diri dan kelompok adalah penting sekaligus sebagai wujud keberpihakan, namun ada kepentingan lain yang lebih besar dan mendesak untuk dibela, yaitu kepentingan bangsa dan negara seperti—kalau sang politisi merupakan anggota legislatif, maka ia mesti—menjalankan fungsi legislasi, anggaran dan kontrol.  

Melawan, dapat diwujudkan dengan melakukan interupsi bahkan perlawanan terhadap segala sikap, tingkah dan kebijakan penguasa (eksekutif) yang bertentangan dengan konstitusi negara dan rasa keadilan publik. Sederhananya, politisi (legislatif) tak merasa kerjanya selesai manakala berbagai Undang-Undang telah rampung dan Rencana Anggaran disahkan. Mereka justru semakin merasa punya kerja besar manakala masih ada daerah yang tidak terjangkau pembangunan dan masih ada rakyat yang tertimpa penderitaan: sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, kesehatan dan politik. 

Ketiga, sebagai teladan publik. Politisi sejatinya merupakan figur publik. Dalam kondisi negara yang kini dilanda berbagai krisis (termasuk krisis teladan), maka politisi mesti menjadi teladan publik. Menjadi teladan meniscayakan politisi untuk bertingkah dan bersikap layaknya sang teladan yang layak dicontoh publik. Misalnya sopan, santun, ramah, jujur, sederhana, bijaksana, peduli, simpati, empati dan serupanya. 

Pertanyaannya, masih adakah politisi yang memiliki karakteristik yang layak diteladani? Sembari menanti jawaban para politisi, kita didesak untuk terus menagih janji dan peran para politisi. Sebab dengan cara begitu, para politisi akan tersadarkan bahwa mereka, terutama yang terpilih sebagai pejabat publik (baik eksekutif maupun legislatif), sejatinya memiliki tugas sejarah dan tanggungjawab besar yang mesti ditunaikan. (*) 


OLEH: SYAMSUDIN KADIR 
Warga Cereng, Golo Sengang, Sano Nggoang-Manggarai Barat dan Penulis buku "NGOPI, Ngobrol Politik dan Demokrasi Indonesia". 

* Tulisan ini dielaborasi dari tulisan aslinya yang berjudul “Menagih Janji dan Peran Para Politisi; Refleksi Politik Pasca Pemilu”. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Alasan Memilih Muhamad Salahudin Pada Pileg 2024

Mengenang Mama Tua, Ine Jebia

Jadilah Relawan Politik Tanpa Mahar!