DIREKTORAT PPK DAN URGENSI PENDIDIKAN KELUARGA

PERAN dunia pendidikan dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, sungguh sangat besar dan tentu saja sangat menentukan. Ya, pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat strategis dalam menentukan keberhasilan bangsa ini dalam menentukan perjalanan sejarahnya.

Karena pendidikan berperan penting dalam meletakkan dasar dan turut mempersiapkan pengembangan potensi peserta didik untuk masa depan bangsa, makanya sejak masa penjajahan, guru sebagai salah satu elemen penting pendidikan selalu menanamkan kesadaran akan harga diri sebagai bangsa yang bermartabat dan menanamkan semangat integrasi kepada peserta didik dan masyarakat bangsa.

Pendidikan sendiri bukan sekadar di sekolah, tapi juga di rumah atau keluarga dan masyarakat dengan keragaman kultur, tradisi atau budayanya yang memiliki kandungan, konotasi atau terkait dengan pendidikan.

Kita mesti bersyukur karena dalam pembukaan konstitusi negara kita, UUD 1945, sangat tegas dan jelas disebutkan, “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa....”

Kemudian UUD 1945 Pasal 31 menjelaskan, (ayat 1) “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.”,  (ayat 2) “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajb membiayainya.”, (ayat 3) “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”

Menyaksikan berbagai peristiwa dan masalah yang menyelimuti generasi muda akhir-akhir ini membuat kita nyaris tak pernah berhenti mengeluskan dada. Tak sedikit diantara mereka yang terlibat dalam berbagai pelanggaran hukum, misalnya, penyalahgunaan narkoba, minuman keras, balapan liar, tawuran, seks bebas hingga pembunuhan. Keadaannya semakin menjadi-jadi ketika keluarga—yang menurut Ramayulis (2010)—sebagai bagian dari pendidikan utama manusia, secara fungsional dan efektifitas tidak hadir secara ril sebagai pusat pendidikan yang sesungguhnya.

Secara teoritis, keluarga merupakan model terkecil sistem sosial masyarakat. Dalam keluargalah proses pendidikan utama dilakukan. Menurut Mohammad Fauzil Adhim (2008), pada umumnya jika pendidikan keluarga berjalan dengan baik, maka keluarga pun akan memberi efek positif bagi keberlangsungan keluarga bahkan memberi efek konstruktif kepada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dalam konteks memantapkan keluarga sebagai bagian penting dari pusat pendidikan, maka kita tentu mendapatkan angin segar ketika beberapa waktu lalu pemerintah telah melahirkan sebuah direktorat baru di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga (Direktorat PPK). Secara yuridis, direktorat hadir berdasarkan Permendikbud Nomor 11/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebagai tindak lanjut Peraturan Presiden No 14/2015 yang mengatur struktur organisasi Kemendikbud.

Jika ditelisik, kehadiran direktorat ini dimaksudkan untuk menguatkan peran orangtua sebagai pendidik pertama dan utama dalam keluarga. Sebuah gagasan yang sangat menjanjikan untuk perbaikan dan pendukung utama sistem penyelenggaraan pendidikan nasional ke depan. Bagaimanapun, kalau kita membaca gagasan pendidikan Ki Hajar Dewantara, keluarga merupakan salah satu dari Trisentra kelembagaan pendidikan, di samping sekolah dan masyarakat. Maka sangatlah tepat jika Supriyono (2015) mengatakan bahwa lembaga keluarga atau yang secara spesifik disebut sebagai lembaga perkawinan merupakan lembaga sosial tertua usianya, terkecil bentuknya, dan terlengkap fungsinya.

Dalam konteks sistem sosial Indonesia, terbentuknya keluarga pada masyarakat-bangsa setidaknya untuk memenuhi prinsip dan nilai dari empat norma yang berlaku yaitu  agama, hukum, moral, dan sosial. Dalam perspektif agama (dalam hal ini khususnya Islam), berkeluarga harus memenuhi syarat dan rukun sebagaimana ditetapkan ajaran agama yang sudah dielaborasi dan diadaptasikan dalam ketentuan hukum positif berupa UU Perkawinan.

Dari sisi moral, menikah dan berkeluarga merupakan pola halal dan legal untuk penyaluran hasrat seksual, mendapatkan keturunan, dan mendapatkan kasih sayang bahkan dalam menyebarnya. Sedangkan secara sosial, “berkeluarga” merupakan suatu kepatutan sosial yang bisa menjaga tata keadaban sosial, di samping sebagai upaya memanusiakan manusia dalam tata kehidupan kolektif sekaligus dalam percaturan global.

Dari sisi psikologi, keluarga sendiri merupakan lembaga pendidikan yang memiliki kekhasan, keunikan, urgensi dan fungsi penting dalam perjalanan hidup seseorang, termasuk dalam mematangkan dirinya sebagai bagian dari manusia lain. Baik dalam keluarga, masyarakat bahkan negara.  

Hal tersebut sangat relevan. Mengapa? Pertama, keluarga merupakan lembaga pendidikan paling alamiah; kedua, prosesnya tanpa didramatisasi atau didesain secara rumit sebagaimana terjadi pada lembaga pendidikan profesional; ketiga, materinya meliputi seluruh bidang kehidupan, metodenya sebagaimana keadaan yang sesungguhnya, dan evaluasinya dilakukan secara langsung oleh anggota keluarga; keempat, dalam keluarga juga tak mungkin terdapat komersialisasi jasa pendidikan. Para orangtua memberikan pendidikan dan fasilitas pendidikan tentulah tak mengharapkan imbalan materi, selain didorong kewajiban moral.

Mesti diakui bahwa selama ini umumnya proses pendidikan keluarga tidak berjalan dengan baik. Hal ini tentu saja disebabkan oleh banyak faktor penyebab dan pendukung. Misalnya, kesibukan, karir dan aktivitas harian para orangtua yang begitu padat. Di samping faktor lingkungan sosial di luar keluarga yang memungkinkan anggota keluarga (dalam hal ini anak-anak) turut terjerumus ke dalam penyakit sosial. Akibatnya, upaya proses pendidikan dalam keluarga sedikit-banyak terabaikan, bahkan tak memberi banyak efek positif terhadap keberlangsungan keluarga.

Karena itu, kita sangat berharap agar kehadiran Direktorat PPK mampu menguatkan peran orangtua sebagai pendidik pertama dan utama dalam keluarga. Bukan saja sebagai upaya mendukung dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, tapi juga sebagai upaya menjaga keberlanjutan kehidupan keluarga sebagai bagian dari elemen terpenting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Semoga Direktorat ini mampu menghadirkan langkah praktis, sehingga keluarga benar-benar menjadi pusat pendidikan utama. Sungguh, bangsa yang besar dan maju adalah bangsa yang mau menjaga keberlangsungan pendidikan dalam keluarganya. Semoga saja begitu. [*]

Albasia Raya 419
Sabtu 13 Juli 2019


Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis buku "Pendidikan Mencerahkan dan Mencerdaskan Bangsa".


Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Alasan Memilih Muhamad Salahudin Pada Pileg 2024

Mengenang Mama Tua, Ine Jebia

Jadilah Relawan Politik Tanpa Mahar!